Kebersahajaan di Kampung Religius (Kampung Adat Mahmud)

MEMASUKI Kampung Adat Mahmud, napas religius tampak terasa. Meski sejumlah bangunan telah tersentuh arsitektur modern, selebihnya rumah-rumah masih bersahaja. Nuansa keislaman terasa dari jajaran penjual busana dan aksesori di dekat masjid. Tampak jongko kopiah, baju koko, dan gamis, mukena, hingga tasbih. Ada juga yang menjajakan Alquran dan buku-buku agama Islam lainnya.

Kebersahajaan di Kampung Religius (Kampung Adat Mahmud)
USEP USMAN NASRULLOH/*PR*
MAKOM Eyang Mahmud di Kampung Adat Mahmud, Desa Mekarrahayu, Kecamatan Margaasih, Kabuapten Bandung. Kampung Mahmud dibangun sekitar abad ke 15 masehi. Merka menempati daerah seluas 4 hektar yang dihuni oleh sekitar 200 keluarga oleh Eyang Abdul Manaf.
Secara administratif. Kampung Adat Mahmud berada di wilayah Desa Mekarrahayu, Kecamatan Margaasih, kabuapten badnung. Lokasi Kampung Mahmud berada di RW 04. Di sana hanya ada dua RT, yaitu RT 01 dan RT 02. Akses menuju Kampung Adat Mahmud dari Kota Bandung juga kian mudah dengan menggunakan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum.

Kampung Mahmud dibangun sekitar abad ke-15 masehi. Mereka menempati daerah seluas 4 hektar yang dihuni oleh sekitar 200 keluarga. Sementara mayoritas mata pencaharian penduduknya bekerja sebagai petani.

Pendiri Kampung Mahmud adalah Eyang Abdul Manaf. Berdasarkan beberapa sumber, Eyang Abdul Manaf adalah salah seorang leluhur yang merupakan keturunan dari Sultan Mataram. Salah seorang putra Sultan Mataram adalah Syahid Abdurrahman yang memiliki putra yang bernama Pangeran Atasangin. Pangeran ini kemudian memiliki putra, yaitu Dipatiukur Agung yang kemudian berputrakan Pangeran Wangsanata.

Dalem Nayasari yang menyebarkan Islam di Tarogong Garut, merupajan putra Pangeran Wangsanata. Dalem Nayasari kemudian memiliki putra bernama Pangeran Nagadirdja dan kemudian berputrakan Eyang H Abdul Manaf.

Eyang Abdul Manaf meninggalkan kampung halamannya menuju ke tanah Suci Mekah. Pada suatu waktu, ia memutuskan untuk kembali ke tanah air. Sebelum kepulangannya ke tanah air, di dekat Masjidil Haram ia memanjatkan doa kepada yang mahakuasa. Dalam doanya, ia meminta suatu kampung yang bebas dari penjajah. Sekembalinya ke tanah air, tepatnya di tatar Sunda, ia mencari lahan untuk tempat perkampungan. Pencarian berakhir setelah ditemukan lahan rwa yang terdapat di pinggiran Sungai Citarum. Satu demi satu rumah penduduk bermunculan di sana, hingga akhirnya membentuk suatu kampung. Kampung itu kemudian diberi nama Mahmud.

Hingga kini, Eyang Abdul Manaf mempunyai tujuh generasi penerus. Keberadaan meraka masih eksis hingga kini. Sebagai masyarakat yang masih menajga tradisi leluhurnya, warga Kampung mahmud sangat mencintai dan menghormati leluhurnya. Sebagai bukti kecintaan, penghargaan, dan penghormatan terhadap para leluhur, mereka memelihara makamnya dengan baik.

Terus berkembang
Awalnya keberadaan Kampung mahmud seperti terpencil. Namun, sejak dibangunnya sebuah jembatan besar hingga dapat menembus kampung tersebut, jembatan inilah seolah memutus keterasingan waraga Mahmud dengan dunia luar.

Rumah asli penduduk Kampung Adat Mahmud adalah rumah bersahaja, sederhana dengan dinding bilik bambu, tidak bertembok, tidak berkaca, serta berbentuk panggung. Selain merupakan aturan adat, warga sangat menjunjung kesederhanaan dan tak saling menonjolkan diri.

Pilihan membangun rumah panggung sebenarnya didasarkan atas fakta bahwa tanah di perkampungan Mahmud sangatlah labil karena berdiri di atas tanah bekas rawa di pinggiran Sungai Citarum.

Sayangnya, pemandangan dulu lain dengan sekarang sebagai bentuk gerusan zaman. Kini, di sssssana sini kini mulai terlihat rumah-rumah beton bertembok dan menggunakan kaca. Setiap sudut rumah yang berjajar, terparkir motor.

Pada awal terbentuknya Kampung Mahmud ini, Eyang Abdul Manaf melarang penduduk membuat lubang sumur, tembok, dan kaca. Eyang Abdul manaf juga melarang penduduknya untuk memeliahra angsa dan kambing sebagai ternak, serta dilarang memiliki beduk dan gong untuk menghindarkan masyarakat dari ancaman penjajah. Wajar saja, akrena kampung itu dulunya merupakan tempat persembunyian para pejuang.

Selain terdapat makam Eyang Abdul manaf, di Kampung Mahmud terdapat sejumlah makam lainnya. Makam-makam ini sering didtangi para peziarah. Tak sedikit pula para peziarah yang sengaja menginap di sana hingga berhari-hari. Kebanyakan peziarah datang pada bulan Mulud.

Jika ingin menuju ke Kampung Mahmud, ada sejulmah alternatif rute yang dapat ditempuh menuju Kampung Mahmud. Terdapat angkutan kota (angkot) yang langsung menuju ke sana, yaitu jurusan Tegallega-Mahmud. Angkot lainnya yang melintas adalah jurusan Cipatik. Sayang, kini jalan-jalan menuju ke Kampung Adat Mahmud rusak berat. Padahal, kampung itu merupakan salah satu aset wisata religi di Kabupaten Bandung.

Sumber: Ahmad Yusuf/*Pikiran Rakyat*, Senin 8 Juli 2013

Related Posts:

Pabrik Kina (Bandoengsche Kinine Fabriek)

DAHULU, saat bangunan belum berdiri megah dan Batavia masih berupa rawa-rawa, nyamuk sempat jadi musuh utama penjajah Belanda. Bahkan selama 53 tahun, antara 1714-1767, tercatat 72.816 penduduk eropa yang tinggal di Batavia meninggal karena penyakit malaria. Karena penyakit inilah kota Batavia sempat dijuluki �Het graf van het Oosten� atau kuburannya negeri timur.

Pabrik Kina (Bandoengsche Kinine Fabriek)
Parmaali /*PR*
Lokasi: Jalan Pajajaran No. 29-30, Kota Bandung
Bediri: 1896
Arsitek: Gneling Mijling AW dengan gaya arsitektur art deco
Bangunan: Pabrik kina terdiri atas beberapa kompleks pabrik. Pabrik di Jalan Cicendo berfungsi sebagai gudang kulit kina, sementara kompleks bangunan di sudut Jalan Pajajaran-Cihampelas berfungsi sebagai tempat sarana kebutuhan pabrik.
Kedua kompleks pabrik dihubungkan dengan sebuah lorong kecil berbentuk terowongan yang melintas dibawah Jalan Pajajaran dan berada sekitar 2,5 meter di bawahnya.
Lebar terowongan sekitar satu meter dengan panjang yang sama dengan lebar Jalan Pajajaran, sekitar sepuluh meter. Hingga saat ini terowongan masih aktif digunakan untuk lalu lintas para pegawai untuk menuju kompleks utama pabrik.
Perkembangan sejarah: 1896: Didirikan Pemerintah Hindia Belanda dengan nama Bandoengsche Kinine Fabriek.
1942: Pada zaman pendudukan Jepang namanya berubah menjadi Rikugun Kinine Saisohjo.
1945: Belanda kembali masuk ke Indonesia dan kepemilikan diambil lagi oleh Bandoengsche Kinine Fabriek.
1958: Dinasionalisasi dan namanya berganti jadi PN Farmasi dan Alat Kesehatan Bhineka Kina.
1961: Berubah jadi Bhineka Kina Farma.
1971: Dengan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1971 berubah menjadi PT (Persero) Kimia Farma.
Melihat hal tersebut, Menteri Jajahan Seberang Lautan Belanda, Ch F Pahud, pada 1851 mengusulkan pada PW Junghuhn untuk melakukan pembudidayaan kina di tanah Jawa. Pada tahun yang sama, Prof de Vriese mendapatkan biji kina dari spesies yang paling baik yang telah disemaikan pada rumah kaca di Prancis. Melalui tangan dingin Dr Teijsmann, kurator Kebun Raya Bogor, bibit yang sempat layu itu lalu dicangkok dan dirawat sepenuh hati. Hasilnya cangkokan tersebut mengalami pertumbuhan yang sangat baik. Dari pohon kina yang satu itulah kemudian berpuluh batang kina dibiakkan.

Untuk mengolah kulit kina menjadi garam kina, Pemerintah Hindia Belanda kemudian mendirikan pabrik kina di Bandung pada 1896. Pada masa-masa itu perkebunan kina di Indonesia bisa menghasilkan hingga rata-rata 11.000 ton kulit kering/tahun, atau setara dengan 33.000 kulit basah/tahun. Dari jumlah tersebut, 4.000 ton diolah di dalam pabrik kina di Bandung dan 7.000 ton diekspor dalam bentuk kulit kina. Dengan jumlah tersebut, saat itu Indonesia bisa mengisi hampir 90 persen pangsa pasar kina dunia.

Berdiri di atas kebun karet sebelah utara, atau Jalan Pajajaran sekarang, pabrik kina telah menjadi simbol kota Bandung selama puluhan tahun. Pada tahun 1980an, masyarakat Bandung akrab dengan asap hitam yang membubung dari cerobong asap pabrik kina, hasil pembakaran mesin ketel uap manual Babcox & Wilcox. Begitu pula dengan suara sirine yang berbunyi sempat kali sehari, penanda waktu karyawan masuk kerja (7.00 WIB), beristirahat (11.30 WIB), kembali masuk kerja (12.00 WIB), dan saat karyawan pulang kerja (15.30 WIB).

Karyawan pabrik sering menyebut sirine tersebut dengan nama si heong. Sejak 1896 hingga saat ini, si heong belum pernah absen mengeluarkan suaranya. Bahkan, peluit yang menjadi sumber suara belum pernah diganti sejak awal pabrik kina berdiri hingga sekarang. Namun, tidak demikian dengan mesin uapnya. Sejak 1995, mesin uap Babcox & Wilcox sudah dipensiunkan dan diganti dengan ketel uap otomatis buatan Surabaya. Pasalnya, asap hitam yang jadi simbol pabrik kina tersebut dianggap telah mencemari udara. Ketelnya perlu diganti dengan yang lebih ramah lingkungan.

Selain mengurangi pencemaran, penggantian ketel uap juga mampu meringankan pekerjaan di pabrik dan mengurangi pemakaian bahan bakar. Mesin Babcox & Wilcox menghabiskan bahan bakar residu antara 3.000-4.000 liter perhari atau sama dengan 120.000 liter residu perbulan, sementara mesin yang baru hanya membutuhkan 33-36 ton solar per bulannya.

Sumber: Vetriciawizach/Periset *Pikiran Rakyat* Minggu, 14 Oktober 2012

Related Posts:

Gua Belanda

BANDUNG adalah salah satu kota saksi sejarah yang mewarnai perjuangan bangsa Indonesia. Banyak peninggalan-peninggalan Belanda yang masih diabadiakan dan dirawat oleh pemerintah Kota Bandung, salah satunya bangunan tua yang berada di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ir H. Djuanda, Bandung. Semula kawasan Tahura adalah bentangan pegunungan dari barat sampai ke timur yang merupakan tangki air raksasa alamiah untuk cadangan musim kemarau. Pada masa pendudukan Belanda tahun 1918, dibangun Pembangkit Listrik Tenaga air (PLTA) Bengkok di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang berada di Tahura. PLTA sepanjang 114 meter dengan lebar 1,8 meter itu merupakan PLTA pertama di Indonesia, dimana terdapat satu terowongan yang melewati perbukitan batu pasir.

Gua Belanda
Illistrasi: Jony/*PR*
Lokasi : Kompleks Tahura Ir H. Djuanda No. 99 Dago Pakar, Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung
Pengelola : Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya Ir H Djuanda, Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat
Luas gua: 547 meter
Tahun berdiri: 1918 sebagai PLTA Bengkok
1941 sebagai Gua Belanda
Menjelang Perang Dunia kedua awal 1941, kegiatan militer Belanda makin meningkat. Dalam terowongan itu kemudian dibangun jaringan gua sebanyak 15 lorong dan 2 pintu masuk setinggi 3,2 meter. Peralatan yang dipakai gua seluas 0,6 hektare dan luas seluruh gua berikut lorongnya adalah 547 meter persegi. Saluran atau terowongan berupa jaringan gua di dalam perbukitan itu kini dinamakan Gua Belanda.

Selain 15 lorong yang ada di dalam gua, ada pula beberapa ruangan lainnya seperti ruang kamar yang dahulunya digunakan untuk tempat istirahat atau tidur para tentara Belanda. Lalu, ada ruang tahanan atau penajra, ruang interogasi untuk para tahanan, serta lorong ventilasi sepanjang 126 meter dan lebar 2 meter. Jika melihat atap gua ini, terlihat seperti ada bekas penerangan lampu. Akan tetapi, penerangan lampu itu kini tidak bisa dipakai karena sering kali mati.

Ada pula memandangan menarik lainnya, yakni bekas rel troli semacam untuk pengangkutan barang atau sejenisnya yang memanjang di sepanjang lorong Gua Belanda serta ruangan bekas stasiun radio telekomunikasi militer Hindia-Belanda. Pada saat Perang Dunia kedua. Bangunan Gua Belanda ini memang pernah digunakan menjadi pusat stasiun radio telekomunikasi Hindia-Belanda meski belum sempat terpakai secara optimal.

Pada masa kemerdekaan, Gua Belanda ini pernah dipakai atau dimanfaatkan sebagai gudang penyimpanan senjata dan mesiu oleh tentara Indonesia. Namun sayang, beberapa dinding gua yang telah mengalami renovasi ini sekarang tak terpelihara dengan baik, coretan tangan-tangan jahil mengotori dinding-dinding bersejarah itu. Kini, banyak wisatawan domestik dan asing yang datang ke Gua Belanda untuk melihat langsung isi gua tersebut sekaligus mendengarkan sejarahnya dari pemandu wisata yang siap mengantar ke dalam gua.

Sumber: Mayang Ayu Lestari/Periset *Pikiran Rakyat* Minggu, 13 Januari 2013

Related Posts:

amazon