Villa Isola, sebuah mahkota dunia

 Villa Isola, sebuah mahkota dunia
Ilustrasi JONY/�PR�
Lokasi : Jalan Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung 40154
Pengelola : Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
�M� ISOLO E VIVO�. Ungkapan berbahasa Belanda tersebut mengandung arti: saya mengasingkan diri dan bertahan hidup dalam kesendirian. Falsafah ini yang diamani Dominic Willem Berretty saat ia membangun sebuah vila pribadi di sebuah kawasan di dataran tinggi Bandung. Bangunan milik pria keturunan Indonesia-Eropa ini pun akhirnya dikenal dengan nana Villa Isola. Kendati berada di lokasi terpencil. Villa Isola merupakan bangunan paling canggih pada zamannya dan menuai banyak pujian. Bahkan salah seorang arsitektur dunia pada masa itu. JP Coen, menyebut Villa Isola sebagai sebuah mahkota dunia.

Villa Isola didirikan pada 1933 di atas lahan seluas 120.000 m2. pembangunannya memakan waktu delapan bulan, dimulai pada Oktober 1932 dan selesai pada Maret 1933. Pada awal berdirinya, bangunan megah ini dilengkapi halaman seluas 7,5 hektare yang berisi taman, air mancur, dan air terjun mini yang mengalir ke danau. Konon, Villa Isola merupakan salah satu masterplace maestro arsitektur tropis modern, Charles Prosper Wolff Schoemaker. Rancangan bangunan vila menggabungkan gaya modern art deco dengan unsur tradisional kosmik Jawa yakni penggunaan sumbu pintu selatan dan utara. Bagian kiri dan kanan vila dibuat simetris dan memiliki bentuk atap mendatar. Penambahan ruang di dalam vila dibangun vertikal sebanyak empat lantai dengan bentuk tangga melingkar di kiri dan kanan pintu masuk.

Berretty hanya setahun menempati vila ini karena ini meninggal dalam sebuah kecelakan pesawat. Beberapa tahun setelah kematiannya, Villa Isola dibeli oleh Hotel Savoy Homann dan menjadi bagian dari hotel tersebut. Pada masa pendudukan Jepang, vila ini sempat dijadikan tempat tinggal sementara Jendral Hitoshi Imamura menjelang diselenggarakannya Perjanjian Linggarjati di Subang. Pascakemerdekaan, tentara Indonesai berhasil merebut kembali Villa Isola dan mengubah namanya menjadi Bumi Siliwangi yang berati rumah pribumi.

Pada 1954, Villa Isola dijadikan gedung Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) oleh pemerintah Indonesia. PTPG merupakan cikal bakal Institut Keguruan dan Ilmu pendidikan (IKIP) atau Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Banduing. Saat itu, bangunan vila dijadikan kantor rektorat sekaligus ruang kelas. Kini, rektor, pembantu rektor, dan sekretariat UPI masih menempati gedung Villa Isola. Untuk mempertahankan eksistensi Villa Isola sebagai salah satu warisan cagar budaya. UPI akan membangun kawasan Isola Heritage. Diharapkan kawasan ini dapat dinikmati oleh seluruh kalangan sebagai bagian daei wisata pendidikan

Sumber: Hanif Hafsari Chaeza/Periset �Pikiran Rakyat�)***

Related Posts:

Akhir Zaman dari Kaca Mata Budaya

Akhir Zaman dari Kaca Mata Budaya
RETNO HY/PR
PERMUKIMAN Kampung adat Dukuh, Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut. Masyarakat setempat mengenal kiamat seperti mengingatkan untuk selalu memegang teguh warisan dari leluhurnya.*
MENDENGAR kata �Kiamat� pasti membuat kita bertanya-tanya kapankah itu. apalagi, berbagai macam ramalan yang memprediksi kedatangan hari akhir zaman itu terus diungkap. Berbagai upaya juga yang membuat teorinya, baik untuk mengiakan maupun membantah ramalan itu.

Mengupas ramalan kiamat bukanlah hal yang baru dikalangan masyarakat adat. Kiamat seakan mengingatkan mereka untuk terus berlaku sesuai ajaran adat dan keyakinannya. Seperti yang dilakukan masyarakat adat di Kampung Dukuh, Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, yang memegang teguh warisan dari leluhurnya.

Juru bicara masyarakat Kampung Dukuh Yayan Hermawan, menyebutkan ada sebuah upacara di masyarakat adat Kampung Dukuh terkait kiamat. Namun, dalam upacara itu tidak disebutkan waktu kiamat itu datang. Tidak seperti ramalan suku maya yang menyebut dengan pasti waktu kiamat itu. Upacara yang disebut ngaguar uga (mengupas ramalan) membahas pertanda mendekati akhir zaman. �Hal itu sebagai pangeling bagi masyarakat agar berlaku sesuai tata yang sudah dibuat,� kata Yayan.

Dalam ngaguar uga, dipaparkan seperti apakah tanda-tanda mendekati akhir zamana. Pertama, banyak terjadi musibah seperti bencana alam dimana-mana dalam waktu yang bersamaan atau berdekatan. Kedua, sudah tidak ada lagi kepatuhan dan kepatutan dalam hubungan orang tua dan anak. Yayan merincinya dengan mencontohkan seringnya terjadi perbuatan keji terhadap orang tua demikian juga sebaliknya yang dilakukan orang tua terhadap anaknya. �Seperti anak yang membunuh orang tuanya ataupun orang tua yang bersetubuh dengan anaknya,� uacap Yayan.

Yang Ketiga, keleluasaan melanggar aturan yang dibuat terutama yang sudah digariskan oleh Tuhan Yang Masa Esa. Dalam hal ini, kata Yayan, yang benar sering dikatakan salah, tapi yang salah dianggap benar. Keempat, pergaulan lain jenis yang bisa disamakan dengan pergaulan ala binatang. �Wanita kerap memurahkan auratnya dan sepertinya sudah hilang rasa malunya,� ujar Yayan.

Tanda Kelima, orang tua akan sangat kesulitan mendidik anaknya karena terbawa arus zaman. Dan yang terakhir, sering ditemukan anak yang lahir tanpa ayah atau perkara anak yang dibuang. �Tanda-tanda ini selalu disampaikan dalam �ngaguar uga� setiap muludan sebagai bentuk peringatan agar manusia berhati-hati dalam bertingkah laku,� kata Yayan.

Pengingatan tentang akhir zaman juga disampaikan dalam relief-relief yang terukir di Candi Borobudur. Di kaki candi, terdapat 160 pigura relief yang dinamakan Karmawibhangga. Secara keseluruhan relief ini merupakan gambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir-hidup-mati (samsara) yang tidak pernah berakhir.

Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batu yang terselubung itu menggambarkan hukum karma. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab-akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang diperolehnya, tetapi juga tentang perbuatan baik manusia dan pahalanya.

Menururt antropolog lulusan Unpad, Fuad Abdulgani, munculnya ramalan-ramalan tentang akhir zaman sekarang ini merupakan hal yang wajar. Itu adalah bentuk kesadaran kolektif masyarakat terhadap kondisi riill yang dihadapinya saat ini. �Sekalipun itu diprediksi oleh individu tertentu malah menjadi pandangan yang kontekstual, � kata Fuad.

Dalam masyarakat yang mengenal peradaban, ramalan tentang akhir zaman terus mengemuka. Fuad mencontohkan munculnya ramalan �zaman edan� (kaliyuga) pada masyarakat Jawa yang disebut oleh Ronggo Warsito. Hal ini mengemuka sepanjang abad 19 dalam situasi ketika keraton ditundukan oleh penjajah yang menyengsarakan rakyat.

Namun, kondisi itu malah memunculkan harapan baru yang menunggu munculnya �ratu adil�, yang bisa memberikan tatanan baru yang lebih baik. Jadi sebenarnya, akhir zaman itu bisa diartikan mengakhiri masa kelam untuk membuka tatanan kehidupan baru yang lebih baik,� ujar Fuad.

Sumber: Dewiyatini/Pikiran Rakyat

Related Posts:

Seni Tradisional Wayang Orang Bekasi

Seni Tradisional Wayang Orang Bekasi
RETNO HY/PR
PERGELARAN seni tradisional wayang orang Bekasi dengan dalang Ki Sukarlan di Teater Terbuka Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, Bandung, Sabtu (6/10) malam.**
Wayang orang Bekasi, menurut KI Sukarlana, sudah ada sejak tahun 1920-an yang berkembang di daerah Cakung. Saat itu wayang orang Bekasi dikembangkan oleh dalang Marjuki dan diturunkan kepada putranya yaitu dalang Subur.

Perpaduan tiga budaya, berupa bahasa (Betawi, Sunda, Jawa) yang dipergunakan dalam dialog maupun tembang-tembang yang dilantunkan juru kawih. Demikian pula dengan perangkat alat musik yang dipergunakan, seperti terompet dan rebab (Sunda), gambang (Jawa), serta simbal (Betawi). Pergelaran wayang orang Bekasi menjadi nontonan yang sangat menarik.

Wayang orang Bekasi tidak sepopuler wayang orang Jawa (wayang Wong). Selama ini, wayang orang Bekasi hanya dimainkan di daerah pinggiran, lokasi asal tumbuhnya wayang orang Bekasi. Sepanjang perjalanan riwayatnya, wayang orang Bekasi tampil dengan penuh keserderhanaan.

Sumber: Retno HY/*Pikiran Rakyat***

Related Posts:

Spiritualitas Masyarakat Sunda

Ketika berkunjung ke Bandung pada 1921, George Celemenceau, Perdana Menteri Prancis kala itu, menyatakan bahwa Bandung adalah The Garden of Allah. George celemenceau terpesona akan lingkungan alam Jawa Barat yang asri dikelilingi gunung menjulang, berhutan rimbun dan hijau, kaya mata air panas ataupun dingin.

Bagi orang Sunda, lingkungan alam yang harmonis membentuk diri dan pandangan hidupnya. Kecenderungan spiritualitas yang kental tercermin dari nilai-nilai moralitas positif. Ini dapat ditelusuri dari naskah-naskah Sunda kuno, misalnya Amanat dari Galunggung. Naskah ini berisi pedoman bagi para pemegang kekuasaan. Dinyatakan bahwa apabila ingin menang perang, jangan suka bentrok, berselisih maksud, saling berkeras hanya pada keinginan sendiri.

Diajarkan pula agar orang Sunda berjiwa seperti padi, semakin berisi semakin merunduk; dan seperti sungai (patanjala), yang airnya terus mengalir dari hulu ke hilir sampai tujuan, yakni di muara.

Dengan pandangan hidup demikian, hidup dan kehidupan orang Sunda cenderung rendah gejolak, tipis friksi, jauh sengketa, familiar, dan kolegial.

Dari penelusuran sejarah, religiositas orang Sunda berasal dari Hindu (abad ke-5 s.d. abad ke-7), lalu Budha, dan berakulurasi dengan budaya spiritual Sunda (nilai-nilai kepercayaan pada Tuhan) sehingga menghasilkan akulturasi tiga sistem religi, Hindu, Budha, dan kepercayaan asli Sunda.

Sunda dan Islam
Kemudian, Islam masuk mewarnai spriritualitas orang Sunda. Orang Sunda yang telah memilki kecenderungan sprirtual religius menerima dengan damai ajaran Islam. Sebagian orang Sunda masih menggenggam nilai-nilai ajaran buhun (lama). Mereka menyembah atau menghormati arwah leluhur dengan pelbagai praktik ritual yang bertahan dan melembaga secara turun-temurun. Misalnya, pada masyarakat Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Demak, Banten Selatan.

Dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat Baduy memiliki berbagai pantangan (tabu). Pantangan ini didasarkan pada aturan-aturan adat (pikukuh) yang diwariskan oleh keluhur. Mereka beranggapan bahwa mereka tinggal di daerah yang suci atau sakral, mereka harus memelihara adat yang telah diwariskan secara turun temurun oleh leluhur. Berdasarkan adat itu. Mereka harus hidup sederhana dan bekerja keras secara seksama yang disebut tapa. Melalui tapa, mereka menghindari hidup mewah dan tidak mau meramaikan Negara. Menurut ungkapan Baduy, mereka lebih menekankan hidup jujur (bener) daripada hidup pintar, tetapi pandai menipu (pinter henteu bener). Dalam perkembangannya, ajaran Islam mewarnai agama Sunda wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Baduy.

Bagi masyarakat Baduy, berladang (ngahuma) merupakan kegiatan utama yang diajarkan oleh agama Sunda Wiwitan. Berbagai upacara adat yang mereka selenggarakan seperti ngalaksa dan kawalu, teritegrasi dengan ngahuma. Upacara kawalu dianggap sebagai cara persembahan kepada nenek moyang (karuhun) setelah panen padi. Upacara kawalu di Baduy dipimpin oleh pemimpin agama yang disebut Puun. Sementara upacara ngalaksa dipimpin oleh staf Puun yang sebut Jaro Dangka.

Di dalam praktik berladang (ngahuma), mereka memercayai adanya Dewi Padi yang disebut Pohaci Sanghyang Asri atau Nyi Pohaci. Menurut kepercayaan masyarakat Baduy, Nyi Pohaci di Kahyangan yang dianggap tempat roh manusia. Mereka sangat menghormati Nyi Pohaci karena, menurut mereka, dengan cara demikian mereka akan mulia. Mereka juga berharap bahwa kelak jika meninggal, rohnya akan dikirim kembali ke Kahyangan dan ditempatkan bersama-sama dengan Nyi pohaci.

Menurut adat masyarakat Baduy, bertani sawah (nyawah) menggunakan tekn0logi, seperti cangkul, pupuk kimia, pestisida, serta meracuni satwa liar dan ikan merupakan pantangan (tabu)- teu wasa. Mereka menghindari hal-hal tersebut karena dianggap sebagai tradisi baru. Sebaliknya ngahuma dianggap sebagai kewajiban dalam agama mereka. Maka setiap tahun keluarga Baduy harus menggarap ladang.

Ngahuma, dengan demikian, selain memiliki fungsi identitas dan spiritualitas, juga memiliki fungsi ekonomi. Kendati secara ekonomi berladang tidak atau kurang menguntungkan, praktik ini harus tetap mereka lakukan sebagai kewajiban. Hal itu saja dinilai tidak lazim oleh pandangan ekonomi barat yang mendasarkan pemikirannya pada perilaku ekonomi modern (formalis). Perilaku berladang masyarakat Baduy bisa langsung karena mereka menerapkan pola ekonomi substantive dan sangat terikat dengan budaya setempat (embedded in culture).

Uga sebagai Ramalan
Dalam dinamika spiritualitasnya, orang Sunda percaya kepada uga, yaitu ketentuan takdir yang dilahirkan dalam bahasa perlambang yang harus ditafsirkan dengan tepat. Sampai sekarang, masih ada sekelompok orang Sunda (misalnya di Kabupaten Sukabumi) yang selalu berpindah-pindah tempat tinggal sesuai dengan petunjuk uga. Menurut uga, mereka baru akan menetap dan Negara akan makmur sentosa apabila mereka sudah menemukan Lebak Cawene (Lembah Perawan) sebagai tempat tinggal.

Ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam uga biasa digunakan orang tua untuk memahami �tanda-tanda zaman�, meramalkan adanya suatu perubahan sosial politik pada masa yang akan datang, di lingkungan mereka tinggal. Kata-kata yang dipergunakan sederhana, dalam bahasa sedang atau kasar (menurut tingkatan bahasa dalam bahasa Sunda).

Selain aspek simbolis, dalam uga terkandung unsur waktu. Dalam tradisi Sunda ada ungkapan, �Geus nepi kana ugana, geus nepi kana waktu anu dituju ku karuhun� (sudah sampai pada uga-nya, sudah tiba saat yang diramaikan leluhur). Ini menunjukkan bahwa dalam ramalan berbentuk uga, faktor waktu merupakan sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan. Akan tetapi unsur waktu yang terkandung dalam uga bersifat tidak pasti; artinya, bisa terjadi kapan saja, besok atau lusa, tahun depan, atau mungkin tidak pernah terjadi.

Bandung heurin ku tangtung� (Bandung penuh sesak dengan bangunan) merupakan sebuah contoh uga yang ringkas dan popular. Sebuah kondisi yang diramalkan para karuhun Sunda zaman dahulu dan kurang lebih telah terbukti terjadi sekarang dengan berbagai konsekuensinya.

Sumber: Wildan Nugraha, Alumnus Faperta, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Padjadjaran. Bergiat di Komunitas titikluang dan Forum Lingkar Pena Bandung,/*Pikiran Rakyat**

Related Posts:

Berhijrah dari Kegelapan (Emha Ainun Nadjib, Kiai Kanjeng dan Himpunan Masyarakat Sholawat �HAMAS�)

Berhijrah dari Kegelapan (Emha Ainun Nadjid dan Kiai Kanjeng)
Berhijrah dari Kegelapan
Berhijrah dari Kegelapan (VCD) yang di produksi MUSICA sekitar pertengahan tahun duarebuan. Album Ini merupakan karya CAK NUN yang terakhir saya (arsip kula) simpan/koleksi.

Album berupa VCD ini memuat 9 lagu. Kesembilan lagunya merupakan lagu-lagu dari album-album (kaset) CAK NUN sebelumnya. Berikut daftar lagunya:

1. Ya Allah Ya Adhiim
Vocal: Haddad Alwi
Koor: HAMAS
Arr: Kiai Kanjeng

2. Suluk Rosamtuka
Vocal: Zainul Arifin

3. Istighfar
Vocal: Ki Sudrun
Arr: Kiai Kanjeng

4. Tembang Kematian
Vocal: KI Sudrun

5. Allahu Allahu
Koor: HAMAS
Arr: Kiai Kanjeng

6. Wirid Padang mBulan
Koor: Jemaan Padhang mBulan Jombang
Arr: Kiai Kanjeng

7. Sholli Wa Sallim
Vocal: Emha Ainun Nadjib
Koor: HAMAS
Arr: Kiai Kanjeng

8. Ilir-ilir
Vocal: Emha Ainun Nadjib
Koor: HAMAS
Arr: Kiai Kanjeng

9. Sidnan Nabi
Vocal: Emha Ainun Nadjib
Koor: HAMAS
Arr: Kiai kanjeng


Bagi sobat yang belum sempat melihat karya CAK NUN (berhijrah dari Kegelapan). Sobat dapat melihat salah satunya dibawah ini. Lagu Tembang Kematian merupakan lagu yang diambil dari album karya Jaman Wis Akhir.


salam

Related Posts:

Yakin, Sadar, Sabar (Karinding)

Yakin, Sadar, Sabar (Karinding)
(foto: Pikiran Rakyat)
Oleh: Iman Rahman A.K, personal Karinding Attack

KARINDING sebagai alat musik tradisional, memiliki begitu banyak kekayaan intelektualitas di balik bentuknya yang sederhana, cara memainkan, juga kisah-kisah seputar upaya revitalisasinya. Dari bentuknya, karinding terbagi menjadi tiga bagian, pancepengan, yaitu bagian yang harus dipegang dengan mantap, cecet ucing di mana buluh bambu karinding yang dibuat kecil dan tipis akan bergetar dan menghasilkan bunyi ketika bagian ke tiga, paneunggeulan, ditabuh.

Bagian pertama dari karinding, pancepengan, merupakan bagian dimana pemain karinding harus memegangnya dengan baik. Tak usah erat, yang penting pas dan mantap. Pancepengan serta cara sang pemain karinding memegannya mengandung nilai filosofi yakin, bahwa ia harus yakin dengan apa yang di pegang sebelum kemudian ia mainkan akan berguna bagi banyak orang.

Yakin kepada diri sendiri akan meniupkan ruh positif bagi individu sehingga ia akan terus berkata, �Aku akan memupuk semangat dalam kreaktivitas dan dengan demikian, kita sebenarnya sedang membuka sumbat yang menutupi potensi diri kita, membimbing mencapai tujuan yang kita yakini. Energi ini membantu kita dalam mencari referensi, bertanya, mengurus pekerjaan, menyusun berbagai langkah ikhlas dan tawakal, membina kita agar senantiasa berada dalam kerendahan hati ketika berpikir, berucap, dan bertindak.

Setelah dengan yakin bahwa ia menggenggam karinding, maka pemain karinding bisa mulai menabuh karinding dengan sabar, tidak tergesa-gesa, tidak terlalu cepat, tidak terlalu keras, tidak terlalu pelan, namun pas di tengah-tengah. Orang-orang bijak selalu berkata bahwa sebaik-baik urusan adalah yang berada di tengah-tengah, dan kesabaran yang pas seperti ini pula yang diperlukan dalam menabuh karinding agar suara yang dikeluarkan bisa semantap keyakinan yang ia pegang.

Sabar adalah kata kerja, berkonotasi ketekunan sehingga akan memberikan penerangan bagi orang-orang yang meyakininya. Sebagai sebuah ketekunan, sabar mengacu pada disiplin dari dan bagaimana kita bisa mengatur waktu serta komitmen untuk mewujudkan apa yang kita cita-citakan. Sadar juga berhubungan erat dengan upaya terus menerus untuk mencapai yang terbaik, pantang menyerah dan kreatif dalam menyusun langkah-langkah yang diyakini benar. Sabar meningkatkan kekuatan orang-orang yang yakin, baik kekuatan fisik, mental, maupun spiritual.

Saat sudah dipegang dengan yakin dan ditabuh dengan sabar, makan rapatkan karinding ke rongga mulut sampai mengeluarkan bunyi. Ketika akhirnya bunyi itu hadir dalam ritme elok yang kita atur, maka hendaknya kita sadar bahwa bunyi itu bukanlah bunyi kita sendiri, bukan milik kita, melainkan milik Dia Sang Pencipta Bunyi. Yang sedang kita lakukan dalam bermain karinding bukanlah menghasilkan bunyi, melainkan memainkan bunyi yang telah ada, untuk sebaik-baiknya menajdi karya yang bisa diapresiasi secara positif oleh khalayak.

Kesadaran ini mengandung makna keikhlasan dan kerja. Ikhlas bahwa apa pun yang kita sangka milik kita, ternyata bukan seperti yang kita kira, sehingga yang harus kita lakukan adalah memelihara sebaik mungkin untuk kita kembalikan kepada-Nya dalam kondisi sebaik-baiknya. Untuk menjaga agar tetap utuh dan baik tentu diperlukan kerja. Dan kerja tidak bisa dilakukan sekali dua kali, melainkan terus menerus dalam pola yang terencana dengan hasil bukan untuk meraih sesuatu � namun melampaui apa yang dalam pikiran kta ingin raih.

Betapa indah filosofi �Yakin Sabar Sadar� yang terkandung dalam karinding. Tiga hal ini jika sudah bisa disatukan dalam harmoni maka akan sangat berguna dalam membentuk kepribadian manusia yang unggul dalam sisi-sisi kehidupannya. Manusia yang sederhana, arif, harmonis, dan memiliki ketenangan jiwa. Semoga ***

Sumber: Pikiran Rakyat

Related Posts:

Hijrah dan Kultus Individu


Tidak ada satu peristiwa apa pun dalam kehidupan yang dihuni oleh manusia ini yang tidak bersifat hijrah. Seandainya pun ada benda yang beku, diam dan seolah sunyi abadi: ia tetap berhijrah dari jengkal waktu ke jengkal waktu berikutnya.

Orang jualan bakso menghijrahkan bakso ke pembelinya, dan si pembeli menghijrahkan uang ke penjual bakso. Orang buang ingus, buang air besar, melakukan transaksi, banking, ekspor impor, suksesi politik, revolusi, apapun saja, adalah hijrah.

Inti ajaran Islam adalah hijrah. Icon Islam bukan Muhammad,melainkan hijrah. Muhammad hanya utusan, dan Allah dulu bisa memutuskan utusan itu Darsono atau Winnetou, tanpa ummat manusia men-demo Tuhan kenapa bukan Muhammad. Oleh karena itu hari lahirnya Muhammad saw. Tidak wajib diperingati. Juga tidak diletakkan sebagai peristiwa nilai Islam. Hari lahir Muhammad kita ingat dan selenggarakan peringatannya semata-mata sebagai peristiwa cinta dan ucapan terima kasih atas jasa-jasanya melaksanakan perintah Tuhan.

12 Rabiul Awal bukan hari besar Islam sebagaimana Natal bag ummat Kristiani. Sekali lagi, itu karena Islam sangat
menghindarkan ummatnya dari kultus individu. Wajah Muhammad tak boleh digambar. Muhammad bukan founding father of islam. Muhammad bukan pencipta ajaran, melainkan pembawa titipan. Tahun Masehi berdasarkan kelahiran Yesus Kristus, sementara Tahun Hijriyah berdasarkan peristiwa hijrah Nabi, yang merupakan momentum terpenting dari peta perjuangan nilainya.

Kesadaran hijriyah menghindarkan ummat dari penyembahan individu, membawanya menyelam ke dalam substansi ajaran -- siapa pun dulu yang diutus oleh Tuhan untuk membawanya. Hijrah adalah pusat jaring nilai dan ilmu. Dari gerak dalam fisika dan kosmologi hingga perubahan dan transformasi dalam kehidupan sosial manusia. Manusia Muslim tinggal bersyukur bahwa wacana dasar hijrah sedemikian bersahaja, bisa langsung dipakai untuk mempermatang cara memasak makanan, cara menangani pendidikan anak-anak, cara mengurus organisasi dan negara.

Hijrah Muhammad saw. dan kaum Anshor ke Madinah, di samping merupakan pelajaran tentang pluralisme politik dan budaya, juga bermakna lebih esoterik dari itu.

Peristiwa Isra' Mi'raj misalnya, bisa dirumuskan sebagai peristiwa hijrah, perpindahan, atau lebih tepatnya
transformasi, semacam proses perubahan atau 'penjelmaan' dari materi ke (menjadi) energi dan ke (menjadi) cahaya.


Sebenarnya sederhana saja. Kalau dalam ekonomi: uang itu materi, kalau diputar atau digerakkan atau 'dilemparkan' maka menjadi enerji. Itu kejadian isro' namanya. Tinggal kemudian enerji ekonomi itu akan digunakan (dimi'rajkan) untuk
keputusan budaya apa. Kalau sudah didagangkan dan labanya untuk beli motor: motornya dipakai untuk membantu anak sekolah atau sesekali dipakai ke tempat pelacuran.

Di dalam teknologi, tanah itu materi. Ia bisa ditransformasikan menjadi genting atau batu-bata. Logam
menjadi handphone, besi menjadi tiang listrik, atau apapun. Tinggal untuk apa atau ke mana mi'rajnya.

Peristiwa isro' bergaris horisontal. Negara-negara berteknologi tinggi adalah pelopor isro' dalam pengertian ini.
Pertanyaannya terletak pada garis vertikal tahap mi'raj sesudahnya. Kalau vertikal ke atas, berarti transform ke atau
menjadi cahaya. Artinya produk-produk teknologi didayagunakan untuk budaya kehidupan manusia dan masyarakat yang menyehatkan jiwa raga mereka dunia akhirat. Kalau garis vertikalnya ke bawah, berati transform ke atau menjadi kegelapan. Mesiu Cina diimport ke Eropa menjadi peluru, meriam dan bom. Kita bisa dengan gampang menghitung beribu macam produk teknologi isro' pemusnah manusia, perusak mental dan moral masyarakat.

Dalam pengertian umum dan baku selama ini, Isra' Mi'raj selain merupakan peristiwa besar dalam sejarah, namun pada umumnya berhenti sebagai wacana dongeng, dan belum digali simbol-simbol berharganya atas idealitas etos tranformatif.

Dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan rumus di atas, segala sesuatu yang menyangkut kehidupan manusia-baik di
bidang ekonomi, politik, sosial budaya dan sebagainya-terjadi secara berputar membentuk bulatan. Yang sehari-hari sajapun: badan kita (materi), tentu, jika tidak diolah-ragakan (dienergikan), mengakibatkan tidak sehat. Tidak sehat adalah kegelapan.

Setelah badan kita sehat dan menyehatkan, lantas dipergunakan untuk kegiatan yang baik, yang memproduk cahaya bagi batin kehidupan kita, serta bermanfaat seoptimal mungkin bagi sesama manusia dan alam-lingkungan.?

Related Posts:

BERAGAMA YANG TIDAK KORUPSI


Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun."Cak Nun", kata sang penanya, "misalnya ada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan,yang harus dipilih salah satu:
 pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?".
Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan". "Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?",kejar si penanya."Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu", jawab Cak Nun. "Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak" , katanya lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi". Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di masjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit,Akulah yang sakit itu.Kalau engkau menegur orang yang kesepian,Akulah yang kesepian itu.Kalau engkau memberi makan orang kelaparan,Akulah yang kelaparan itu. Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang manadari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.
Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran,menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?" Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.
Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama. Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang. Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih,dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, menyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama. Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya.
Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas).  Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan. Ekstrinsik Vs Intrinsik Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya. Nabi Muhammad SAW menjawab singkat, "Ia di neraka". 

Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial. Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial. Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik dihadapan orang lain. Hal ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W. Allport. Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama:ekstrinsik dan intrinsik. Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya. Dia beragama demi status dan harga diri.
Ajaran agama tidak menghujam ke dalam dirinya. Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam jauh ke dalam jiwa penganutnya. Adanya internalisasi nilai spiritual keagamaan. Ibadah ritual bukan hanya praktik tanpa makna. Semua ibadah itu memiliki pengaruh dalam sikapnya sehari-hari. Baginya, agama adalah penghayatan batin kepada Tuhan. Cara beragama yang intrinsiklah yang mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan penuh kasih sayang. Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak tulus,melahirkan egoisme. Egoisme bertanggungjawab atas kegagalan manusia mencari kebahagiaan, kata Leo Tolstoy. Kebahagiaan tidak terletak pada kesenangan diri sendiri. Kebahagiaan terletak pada kebersamaan.
Sebaliknya, cara beragama yang intrinsik menciptakan kebersamaan. Karena itu, menciptakan kebahagiaan dalam diri penganutnya dan lingkungan sosialnya. Ada penghayatan terhadap pelaksanaan ritual-ritual agama. Cara beragama yang ekstrinsik menjadikan agama sebagai alat politis dan ekonomis. Sebuah sikap beragama yang\memunculkan sikap hipokrit; kemunafikan. Syaikh Al Ghazalidan Sayid Quthb pernah berkata, kita ribut tentang bid'ah dalam shalat dan haji, tetapi dengan tenang melakukan bid'ah dalam urusan ekonomi dan politik. Kita puasa tetapi dengan tenang melakukan korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan penindasan. Indonesia, sebuah negeri yang katanya agamis, merupakan negara penuh pertikaian.
Majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001 mencatat, Indonesia dengan 17.000 pulau ini menyimpan 1.000 titik api yang sewaktu-waktu siap menyala. Bila tidak dikelola, dengan mudah beralih menjadi bentuk kekerasan yang memakan korban. Peringatan Newsweek lima tahun lalu itu,rupanya mulai memperlihatkan kebenaran. Poso, Maluku,Papua Barat, Aceh menjadi contohnya. Ironis. Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis betapa banyak umat Islam disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah (ritual), tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka.
Betapa banyak orang kaya Islam yang dengan khusuk meratakan dahinya di atas sajadah,sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit dan kekurangan gizi. Kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak di sudut-sudut negeri ini tidak dapat melanjutkan sekolah. Jutaan uang dihamburkan untuk membangun rumah ibadah yang megah,di saat ribuan orang tua masih harus menanggung beban mencari sesuap nasi. Jutaan uang dipakai untuk naik haji berulang kali,di saat ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Secara ekstrinsik mereka beragama, tetapi secara intrinsik tidak beragama

Related Posts:

Dosa Struktural

cak nun.Dosa struktural dipahami sesudah diketahui dan dialami bahwa sesudah kehidupan ini dibangun dan dilaksanakan dengan menggunakan institusi yang bernama Negara, dengan susunan dan tatanan unsur-unsur kehidupan bermasyarakat - di bawah negara - yang dialektis dan terkait satu sama lain, bahkan ada keterkaitan komprehensif antara Negara dengan Negara, antara masyarakat dengan masyarakat. Fenomena globalisasi membuat inter-relasi antara Negara dan masyarakat di sebagai bidang menjadi hampir tak ada dindingnya lagi.

Kalau ada suatu Negara dijajah oleh Negara lain dan itu membuat masyarakat Negara yang dijajah itu menjadi miskin, tidak percaya diri dan serta tidak tertata hidupnya; dan kalau dalam Islam dikenal adagium "kaadal faqru an-yakuuna kufron", kemiskinan itu cenderung mendorong pelakunya ke perbuata-perbuatan kufur - maka tidakkah logis kalau disimpulkan bahwa para inisiator dan pelaku penjajahan itu turut bertanggung jawab atas kekufuran masyarakat yang dijajah? Bahkan lebih dari itu, tidak mungkinkah masyarakat penjajah menanggung dosa lebih besar karena justru merekalah penyebab utama kekufuran masyarakat yang terjajah?

Kalau dominasi produk budaya tertentu - umpamanya melalui media televisi -- membuat anak-anak kita rusak mentalnya, tidak terjaga iman dan jiwa religiousnya, bahkan lantas memiliki kebiasaan-kebiasaan hidup yang menjauhkannya dari Allah - apakah anak-anak kita yang paling besar menanggung dosanya, ataukah produser budaya itu yang akan lebih dihisab oleh Allah? Dan ini juga berlaku pada semua sektor kehidupan di mana pemegang mainstream pelaku destruksi-destruksi moral dan kemanusiaan. Anak-anak muda yang rusak hidupnya, yang nyandu narkoba, yang cengengesan karena tontonan-tontonan memang hanya mendidik mereka untuk cengengesan, yang kehilangan masa depan, yang tidak perduli pada kebenaran dan tidak menomer-satukan Tuhan - apakah mereka berdosa sendirian?


 cak nun.
Ini juga bisa terjadi pada skala yang lebih kecil dalam kehidupan sehari-hari. Orang mencuri ada sebabnya, orang menjadi rusak ada asal usulnya, bahkan tidak ada wanita yang bercita-cita menjadi pelacur dan tidak ada lelaki yang berdegam-degam hatinya karena punya cita-cita untuk merampok. Juga banyak kejadian-kejadian kecil sehari-hari yang kita akrabi yang jika berupa keburukan atau kejahatan - tidak serta merta kita hakimi sebagai suatu perbuatan yang berdiri sendiri.

Anak-anak mengemis di perempatan jalan, anak-anak menghisap narkoba, pemuda-pemudi melakukan seks bebas: bisakah mereka disalahkan sendirian dan dihukum sendirian. Bukankah ada keterkaitan struktural antara perbuatan mereka dengan segala sesuatu, termasuk orang-orang dan system, yang menjadikan mereka seperti itu. Bukankah sederhana saja untuk mengarifi itu: kalau ada pejalan kaki terpeleset kakinya oleh kulit pisang, bisakah kita yakin bahwa orang yang membuat kulit pisang itu bebas dari tanggung jawab atas jatuhnya orang itu? ?
cak nun.

Related Posts:

Generasi Kempong


cak nun.Salah satu jenis kelemahan manusia adalah kecenderungan terlalu gampang percaya atau terlalu mudah tidak percaya. Masih mending kalau mau mengkritik: "Cak Nun tulisannya susah dipahami, harus dibaca dua tiga kali baru bisa sedikit paham."

Saya menjawab protes itu: "Anda kempong ya?"

"Kok kempong..maksudnya?"

"Kalau kempong ndak punya gigi, harus makan makanan yang tidak perlu dikunyah. Orang kempong ndak bisa makan kacang, bahkan krupukpun hanya di-emut. Kalau orang punya gigi, dia bisa menjalankan saran dokter: kalau makan kunyahlah 33 kali baru ditelan. Sekedar makanan, harus dikunyah sampai sekian banyak kali agar usus tidak terancam dan badan jadi sehat. Lha kok tulisan, ilmu, informasi, wacana - maunya langsung ditelan sekali jadi"
Teman saya itu nyengenges.

"Coba Anda pandang Indonesia yang ruwet ini. Wong kalau Anda mengunyahnya sampai seribu kalipun belum tentu Anda bisa paham. Segala ilmu sosial, ilmu politik, ilmu ekonomi dan kebudayaan mandeg dihadang keruwetan Indonesia. Ilmuwan-ilmuwan kelas satu saja kebingungan membaca Indonesia, lha kok Anda ingin mengenyam makanan tanpa mengunyah.

Yokopo se mbaaaah mbah! Sampeyan iku jik cilik kok wis tuwek..."

Kebudayaan kita instan. Mie-nya instan. Lagunya instan. Maunya masuk sorga juga instan. Kalau bisa, dapat uang banyak langsung, ndak usah kerja ndak apa-apa. Kalau perlu ndak usah ada Indonesia ndak apa-apa, ndak usah ada Nabi dan Tuhan juga ndak apa-apa, asal saya punya duit banyak.
Sedangkan Kitab Suci perlu kita baca terus menerus sepanjang hidup, itupun belum tentu memperoleh ilmu dan hikmah. Wong kita tiap hari shalat lima waktu rajin khusyuk sampai bathuk benthet saja belum tentu menemukan kebenaran. Wong naik haji sampai sepuluh kali saja belum dijamin akan memperoleh ridhollah. Lha kok sekali baca ingin mendapat kedalaman nilai, lha kok lagu-lagu pop diharapkan menawarkan kualitas hidup, lha kok menyanyikah shalawat dianggap sama dengan bershalawat atau melakukan shalawat.


Kalau Anda karyawan produksi televisi, Anda harus memperhitungkan harus bikin tayangan gambar yang sedetik dua dua detik nongol maka orang langsung senang. Penonton jangan dituntut untuk sedikit sajapun mendalami apa yang mereka tonton. Pokoknya kalau di depan TV sekilas pandang orang tak senang, ia akan langsung pindah channel.
Jadi bikinlah tayangan yang diperhitungkan sebagai konsumsi orang-orang kempong yang tidak memiliki kemampuan dan tak punya waktu untuk mengunyah, menghayati dan mendalami. Maka acara yang terbaik adalah joget, joget, joget.itu dijamin pasti langsung laku. Anda tak perlu berpikir tentang mutu kebudayaan, pendidikan manusia, sosialisasi nilai-nilai sosial atau apapun saja.

Baca koran juga dengan metodologi kempong. Generasi kempong tidak punya waktu dan tidak memiliki tradisi untuk tahu beda antara kalimat sindiran dengan bukan sindiran. Tak tahu apa itu ironi, sarkasme, sanepan, istidraj. Meskipun saya maling, asal saya omong seperti Ulama, maka saya dianggap Ulama.
 cak nun.
 
Sebaliknya meskipun saya tidak nyolong, kalau saya bilang "saya ini orangnya Suharto, saya dikasih perusahan PT Dengkulmu Mlicet..", orang instantly percaya bahwa saya memang orangnya Suharto. Meskipun saya seekor anjing, tapi kalu saya katakana bahwa saya kambing, orang langsung yakin bahwa saya bukan anjing. Generasi kempong sangat rentan terhadap apa saja, termasuk informasi.

Tidak ada etos kerja. Tidak ada ideologi dharma, atau �falya'mal 'amalan shalihan�. Yang kita punyai hanya obsesi hasil, khayal pemilikan dan kenikmatan. Apapun caranya. Boleh rejeki langsung dari langit, boleh hasil copetan atau korupsi. Gus Dur kena gate, Akbar kena gate, ada AsaramaGate ada AsmaraGate dan beribu-ribu gate yang lain dari - asalkan yang nyolong semuanya kan kita relatif aman. Pak Amin Rais bilang kalau kita paksakan Pansus Buloggate-II dibentuk berarti akan terjadi pembubaran parlemen.

Bahasa jelasnya, maling yang ditangkap yang tertentu saja. Kalau benar-benar memberantas maling, nanti DPR/MPR bubar, pemerintah bubar, seluruh Indonesia jadi Lowok Waru, Cipinang, buen-buen. Maka betapa indahnya kalau Pak Amin Rais menjadi pahlawan pembubaran Parlemen Maling, sebagai salah satu jalan mendasar dan total perbaikan dan penyembuhan Indonesia?


Sebab, lambat atau cepat, hal itu akan terjadi, meskipun tidak harus dalam bentuk wantah. Kalau rakyat tidak sanggup menagih, maka akan ada yang lebih kuat dari rakyat yang akan menagih. Pak Harto dikempongi, Habibie dikempongi, Gus Dur dikempongi, dan sekarang sedang mulai gencar Megawati dikempongi...

Asa an tukrihu syai-an wa huwa khoirul-lakum, wa 'asa an tuhibbu syai-an wa huwa syarrun lakum�. Apa yang selama ini engkau singkirkan, engkau anggap buruk, engkau coreng mukanya, engkau remehkan, engkau rendah-rendahkan atau engkau buang ke tong-tong sampah - akan menohok kesadaranmu dan engkau akan dipaksa menyadari bahwa sesungguhnya yang engkau anggap buruk itulah yang baik bagi kehidupan berbangsamu. Sebaliknya segala sesuatu yang engkau junjung-junjung, engkau blow-up, engkau puja-puji, engkau bela mati-matian, engka sangka akses utama masa depanmu - akan nglinthek di depan matamu dan engkau dipaksa menyadari bahwa ternyata ia sesungguhnya buruk bagi hidupmu.

Apa yang sesungguhnya egkau harapkan dari keadaan-keadaan yang semakin lama semakin menyiksamu ini? Siapa sebenarnya Imam-mu yang sungguh-sungguh bisa engkau percaya? Siapa presiden-sejatimu? Siapa pemimpin yang nasibmu bisa saling rebah bersamanya? Siapa yang menjamin sembako di pawon-mu dan uang sekolah anak-anakmu? Siapa yang menjaga keamanan keluargamu dan nyawa anak-anak serta istrimu, padahal engkau sudah membayar pajak?

Sampai kapan engkau menyanyikan lagu-lagu khayal siang malam di koran dan teve? Sampai kapan engkau berenang-renang di lautan takhayul? Apakah harus kita ubah Ajisoko kita menjadi Ho-no-co-ro-ko, Do-to-so-wo-lo, Po-dho-pe-kok-o, Mong-go-mo-dar-o..?

Sebenarnya diam-diam di dalam hatimu engkau sudah mulai merasakan dan mengakui hal itu, tetapi keangkuhan kolektifmu masih menjadi dinding bagi terbukanya kejujuranmu. Engkau tinggal memilih akan menjadi bagian dari generasi yang semakin kempong giginya, ataukah diam-diam engkau menumbuhkan lingkaran-lingkaran Indonesia baru yang menumbuhkan gigi-gigi masa depannya. ?cak nun.

Related Posts:

Benar Sendiri

cak nun.Ada tiga model kebenaran yang bisa kita temukan. Pertama, model kebenaran yang dipakai sendiri: benarnya sendiri (benere dhewe). Kedua, kebenaran yang diakui banyak orang (benere wong akeh), dan, ketiga kebenaran hakiki (bener kang sejati).

Sejak mendidik bayi sampai menjalankan penyelenggaraan negara, manusia harus sangat peka dan waspada terhadap sangat berbahayanya jenis kebenaran yang pertama. Artinya, orang yang berlaku berdasarkan benarnya sendiri, pasti mengganggu orang lain, menyiksa lingkungannya, merusak tatanan hidup bersama, dan pada akhirnya pasti akan menghancurkan diri si pelakunya sendiri.

Benarnya sendiri ini berlaku dari soal-soal di rumah tangga, pergaulan di kampung, di pasar, kantor, sampai ke
manifestasi-manifestasinya dalam skala sosial yang lebih luas berupa otoritarianisme, diktatorisme, anarkisme, bahkan pada banyak hal juga berlaku pada monarkisme atau teokrasi. Benarnya sendiri melahirkan firaun-firaun besar dalam skala negara dan dunia, serta memproduk firaun-firaun kecil di rumah tangga, di lingkaran pergaulan, di organisasi, bahkan di warung dan gardu.

Tidak mengagetkan pula jika benarnya sendiri juga terjadi di kalangan yang yakin bahwa mereka sedang menjalankan demokrasi. Ada seribu kejadian sejarah yang mencerminkan pandangan benarnya sendiri. Para pelaku demokrasi banyak menerapkan demokrasi berdasarkan paham benarnya sendiri tentang arti demokrasi itu. Orang yang selama berpuluh-puluh tahun diyakini sebagai seorang demokrat sejati, ditulis di koran-koran, buku-buku, digunjingkan di forum-forum nasional maupun internasional sebagai seorang demokrat teladan --ternyata pandangan-pandangan kolektif itu khilaf."cak nun.

Related Posts:

Agama Kok Departemen


cak nun.KALAU kita memegang tongkat kekuasaan, di level mana pun, biasanya ada empat hal yang mengejar-ngejar hati kita, mengendalikan perasaan, mempengaruhi perilaku --dan akal pikiran diperbudak oleh desakan emosi itu, untuk berkonsentrasi pada keempat hal tadi.

Yakni, pertama, bagaimana supaya tidak kehilangan kekuasaan. Kedua, bagaimana bisa memperpanjang kekuasaan. Kedua hal ini melahirkan yang ketiga: bagaimana menghimpun modal sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya, agar kekuasaan bisa dipertahankan --siapa tahu tiba-tiba muncul angin badai yang mengguncang kita dari kursi. Juga muncul yang keempat: di samping menumpuk modal, juga harus peka pada setiap momentum untuk bisa cari muka kepada rakyat dan semua pihak dalam kehidupan bernegara.

Hal-hal mengenai kehidupan rakyat, itu soal gampang dan bisa disepelekan. Sudah terbukti, selama sekian periode kekuasaan, dan tampaknya kita yakin belum ada perkembangan mendasar pada rakyat --sehingga sampai beberapa tahun lagi, insya Allah, rakyat masih bisa dikibulin. Tidak ada infrastruktur apa pun pada sosiologi politik kerakyatan kita, yang mampu menghalangi proses mempertahankan kebodohan rakyat. Kalau ada satu-dua kelompok aktivis berpikir dan berteriak tentang revolusi, anggap itu refrein sebuah lagu --toh, akhirnya nyanyian harus kembali ke bagian awal.

Rakyat tidak punya modal apa pun untuk melakukan revolusi, kecuali direkayasa untuk menciptakan adegan yang seolah-olah revolusi, kemudian dilegitimasi oleh bagaimana media memotretnya. Prestasi puncak kita sebagai rakyat adalah amuk dan kerusuhan. Cobalah Anda melingkar dalam satu kumpulan yang plural, terdiri dari suku apa pun, agama dan kelompok apa pun, juga tingkat pendidikan dari yang paling rendah sampai paling tinggi. Lalu, masing-masing orang Anda kasih benda-benda yang bisa menghasilkan bunyi kalau dipukul, entah ember, kentongan, kayu, atau apa pun. Kalau Anda meminta mereka membunyikan benda-benda itu, hasilnya adalah kothekan, ritme-ritme pukulan seperti kuda lumping atau jaran kepang yang dikuasai suasana in-trance. Mabuk. ndadi, alias mengamuk.

Kalau seni tradisi Aceh, suasana ndadi-nya sangat solid, tapi rata-rata musik dan tari mereka berakhir dengan black-out. Progresivisme masyarakat Aceh hanya bisa berhenti dalam keadaan mendadak atau semacam dipaksa berhenti. Kesenian Jawa yang "bebudaya" tidak memiliki situasi ndadi yang progresif, terlalu tertata dan tidak revolusioner. Jawa yang progresif hanya yang "primitif", kuda lumping: seakan-akan itu entakan-entakan revolusioner, padahal sesungguhnya mengamuk.
cak nun.


Kebaikan pun seringkali diaplikasikan secara ndadi. Menteri Agama kita yang harus menyesuaikan diri dengan "habitat Jawa" ndadi begitu melihat peluang yang baik dan penuh kemuliaan untuk menolong rakyat. Hanya orang ndadiyang tertutup ingatannya tentang tata hukum, pilah-pilah birokrasi, dan prosedur. Tradisi ndadi dalam berbuat baik sudah jamak dalam masyarakat kita. Naik haji dianggap pasti baik meskipun memakai uang tidak halal. Makin banyak naik haji, disimpulkan makin saleh pelakunya meskipun tetangga-tetangganya mlongo dan belum tentu bisa makan. Sehingga diperlukan eksplorasi dan ijtihad fikih Islam yang mempertimbangkan inter-relasi antara ibadah dan kondisi-kondisi sosial --sehingga akal sehat akan menemukan posisi hukum naik haji bisa wajib, sunah, halal, makruh, dan haram. Kecuali, Islam mengizinkan individualisme dan tidak meniscayakan substansi kejamaahan global.

Alhasil, seandainya hukum negara mengharuskan Menteri Agama diadili, yang diperlukan adalah saksi ahli bidang psikologi sosial yang mampu menjelaskan tentang fenomena ndadi, yang berarti suatu jenis ketidaksadaran tertentu. Ada kemungkinan, beliau lolos dari hukuman. Bahkan, siapa tahu, hampir semua pemimpin kita sebenarnya ndadi, sehingga pada hakikatnya mereka tidak salah. Ini alasan yang jitu untuk saling memaklumi. Apalagi, Pak Hakimnya ternyata juga ndadi
.

Negara kita sendiri memang sudah ndadi sejak dari sono-nya. Makanya, yang perlu diamandemen bukan hanya UUD 45, melainkan juga struktur otak dan metodologi pemahaman kita sendiri. Lha bagaimana, wong agama kok departemen. Kalau memang agama mau dilegalisasikan dan diformalkan, letaknya merangkum, bukan menjadi bagian. Jadi, mending agama disemayamkan di akal dan hati sajalah. Atau Anda semua monggo-monggo saja kalau mau meninggalkan agama. Tuhannya kan Allah, bukan Anda atau saya, jadi biar Beliau yang mengurusi akibat dari pilihan kita.

Departemen Agama tak usah dibubarkan, cukup direndah-hatikan menjadi "Departemen Sarana Peribadatan", misalnya. Yang mencemaskan adalah kalau kasus harta karun ini bukan ndadi, melainkan politik yang sadar. Kita tak akan pernah tahu, sebenarnya Bu Mega menyuruh atau tidak. Pernyataan sih tidak. Tapi, politik itu kan bau kentut: kita hanya mendengar bunyinya dan menghirup baunya, tidak tahu kenapa kok kentut, kenapa yang kentut si A kok bukan B, makan apa kok baunya begitu, kenapa kentutnya kemarin kok tidak besok?

Sudah lama rakyat bingung mendengar Dana Revolusi, Dana Nusantara, sertifikat di Bank Swiss, uang Brasil, lempengan emas dan platinum di Nusabarong, Bengkulu, Ungaran, Jember, Labuhan, Cipanas, Bekasi, Mbah Kartosuwiryo masih hidup di pantai Cilacap.
cak nun.

Related Posts:

amazon