Profil Efek Rumah Kaca


Efek Rumah Kaca.(ERK) menulis lagu pop berbahasa Indonesia dengan tema yang sangat variatif. Lirik puitis, kadang langsung, dengan berbagai sudut pandang dan kekayaan pilihan kata. Tidak sekedar hiburan, ERK menjadikan musik sebagai potret zaman, membicarakan berbagai keadaan hari ini; situasi sosial, budaya, politik, lingkungan, psikologis, apa saja! 


Efek Rumah Kaca yang terdiri dari Cholil (vokal/gitar), Adrian (bass) dan Akbar (drum) terbentuk pada tahun 2001. Setelah mengalami beberapa kali perubahan personil, akhirnya mereka memantapkan diri mereka dengan formasi 3 orang dalam band-nya. Sebelumnya, band ini bernama "Hush" yang kemudian diganti menjadi "Superego", yang kemudian berubah lagi pada tahun 2005 menjadi Efek Rumah Kaca- diambil dari salah satu judul lagu mereka. Dan lahirlah Efek Rumah Kaca.

Banyak yang menyebutkan bahwa warna musik Efek Rumah Kaca tergolong dalam post-rock, bahkan adapula yang menyebutkan shoegaze sebagai warna musik mereka. Tetapi, Efek Rumah Kaca dengan mantap menyebutkan bahwa warna musik mereka adalah pop, karena mereka merasa tidak mengunakan banyak distorsi dalam lagu-lagu mereka seperti selayaknya musik rock. Secara musikal, ERK cukup banyak dipengaruhi oleh Jeff Buckley, Smashing Pumpkins, Radiohead, Sting, Jon Anderson, hingga Bjork.

Sejak merilis debut album self title pada September 2007 (di bawah Indie Label Paviliun Records), ERK mendapat espon positif dari berbagai media dan kalangan. Puluhan, bahkan mungkin ratusan blog di internet meresensi album ini dengan antusias. Puluhan media cetak nasional memberi kredit yang baik. Puluhan tampil di layar TV nasional dan lokal. Ratusan radio memasukkan single-single mereka- terutama lagu ”Cinta Melulu”- ke dalam chart mereka. Kalangan pelajar, mahasiswa, sesama musisi, seniman, LSM, hingga kalangan umum mengapresiasi musik ERK. Ratusan panggung di berbagai daerah mendapat sambutan positif: Jakarta, Bandung, Bogor, Tangerang, Solo, Semarang, Yogyakarta, Jombang, Bali, Medan, Pekanbaru....

Efek Rumah Kaca disebut-sebut sebagai ”produk indie” terbaik saat ini, media-media musik menjulukinya sebagai ”band yang cerdas”, ”sesuatu yang berkualits sekaligus ’menjual’”, atau bahkan ”penyelamat musik Indonesia”.
Dan ERK masih menjadi band yang sama seperti sejak terbentuknya: berusaha terus menulis lagu sebagus dan seindah mungkin, sambil memotret kenyataan.

Judul album : 
Efek Rumah Kaca - Self Titled (2007)
Efek Rumah Kaca - Kamar Gelap (2008)
Efek Rumah Kaca - Sinestesia (21-12-2015)


Self Titled (2007)

Kamar Gelap (2008)

Di tiap lagu yang mereka himpun, komposisi dirancang sebangun bersama tema. Realita di reka-reka. Supaya musik lalu tak hanya jadi hiburan, refleksi ada, realita juga disampaikan. Memotret zaman. Lirik ditata, kadang puitis, ada juga yang kontan di muka. Dengan berbagai sudut pandang, dan kekayaan pilihan kata Bahasa Indonesia.

Beriring musik pop sederhana, namun eksperimen tak lupa. Diundang juga indie-rock, progressive rock, punk, new wave, jazz, apa saja. Dicampur pula pengaruh dari idola mereka; Jeff Buckley, Jon Anderson, Smashing Pumpkins, Radiohead, hingga Bjork.

Lagu “Melankolia” dan “Di Udara” menjadi pembuka. Tahun 2006 lagu-lagu tadi masuk kompilasi Paviliun Do Re Mi (Paviliun Records) dan Todays Of Yesterday (Bad Sector Records). Efek Rumah Kaca mulai keluar, berkenalan. Bulan Agustus tahun 2007 Efek Rumah Kaca bersama beberapa teman menggelar tur ke beberapa kota di Jawa. Sebuah pengantar menuju album debut mereka.

Pada bulan September 2007, album debut selftitled Efek Rumah Kaca dilepas melalui Paviliun Records. Perkenalan berlangsung mulus. Album debut tersebut direspon baik oleh publik, diawali dengan review-review positif dari para penulis di internet. Single pertama ”Jatuh Cinta Itu Biasa Saja” mulai membuat kalangan media dan pendengar musik Indonesia menaruh pehatian. Tapi, yang paling berpengaruh mengenalkan nama Efek Rumah Kaca kepada publik nasional adalah single kedua mereka, ”Cinta Melulu”- sebuah satir ceria akan industri musik Indonesia yang didominasi oleh lagu-lagu bertema cinta yang penyajian komposisi musik dan liriknya begitu-begitu saja.

Jalan pun terbuka, album debut Efek Rumah Kaca mengantarkan serangkaian panggung di akhir 2007 hingga sepanjang 2008. Juga mengantarkan ERK meraih antara lain “The Best Cutting Edge” - MTV Indonesia Music Award 2008, “Editor’s Choice 2008” versi Rolling Stone Indonesia, “Class Music Heroes 2008” dan Nominator Anugrah Musik Indonesia Award 2008.

Kurang dari setahun berselang, 19 Desember 2008 mereka merilis album kedua. “Kamar Gelap” judulnya. Aksara Records jadi payungnya. Di album ini, Efek Rumah Kaca melanjutkan langkahnya. Eksperimentasi musik dilaksana, membuat album lebih berwarna, lebih kaya nuansa. Teman-teman diajak bermain bersama, Mondo, Ade (Sore) serta Iman Fattah (Lain, Zeke and The Popo, Raksasa) ikut meramaikan rekaman suara. Angki Purbandono, seniman asal Jogja juga ikutan, karya fotografinya jadi isian kemasan album dua.

Dalam satu kesempatan, Efek Rumah Kaca dipercaya mengisi rubrik khusus seputar pemilu di harian Kompas (selama satu bulan, dimuat tiap hari Sabtu di bulan Januari 2009). Dalam kesempatan lain, Efek Rumah Kaca terus bermain di panggung-panggung, menyanyikan bersama khalayak lirik peka di penjuru Indonesia. Diantara kesempatan itu, Efek Rumah Kaca ternyata menyisihkan tenaga sambil membangun rencana.

Yang jelas, Efek Rumah Kaca masih menjadi band yang sama seperti sejak terbentuknya: berusaha terus menulis lagu sebagus, seindah mungkin, memotret kenyataan, dan berharap memberikan citraan warna yang sepadan di kepala. Sambil sesekali bersorak, bukan pada siapa-siapa, pada sendiri saja, agar seruan ini tak jadi lupa fungsinya; “Pasar Bisa Diciptakan!” sorak mereka.

Related Posts:

Jangan Jual Ayat atas Nama Makrifat

Oleh Edy Ahmad Effendi

Sungguh menyedihkan. Melihat fenomena sebagian murid dan sebagian ustaz di sebuah padepokan yang mengusung kajian tasawuf, tapi lakunya sudah keluar dari rel nilai-nilai keadaban. Maksud keluar dari rel nilai-nilai keadaban, karena mereka telah memanfaatkan kajian tasawuf untuk dirinya sendiri. Jualan ayat-ayat Tuhan dengan berlabel makrifat.

Mereka memanfaatkan orang-orang yang rindu kehadiran Allah dalam diri, yang sebagian tak mempunyai dasar ilmu-ilmu agama, dengan jalan merayu, membujuk dan berbohong soal nilai-nilai makrifat.

Praktik merayu, membujuk dan berbohong soal nilai-nilai makrifat ini, dengan jualan lain, bahwa mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Sang Guru Mursyid. Atas nama Sang Guru, beberapa murid pun tergiur. Padahal, tak semua ujaran mereka, ujaran Sang Guru. Tapi ujaran diri sendiri untuk kepentingan pribadi. Untuk kepentingan perut diri dan keluarga.

Jika praktik seperti ini dibiarkan terus Sang Guru, jelas mendistorsi nilai-nilai agung makrifat itu sendiri. Nilai-nilai luhur tentang akhlak. Tentang laku zuhud. Tentang keluhuran budi pekerti Rasulullah.

Saya bisa yakinkan, mereka memang berpikir untuk kepentingan diri sendiri. Keyakinan saya bersandar pada laku sebagian murid dan sebagian guru, yang jauh dari akhlak mulia. Akhlak mulia yang saya maksud adalah akhlak soal nilai-nilai moral yang ada dalam diri.

Sayangnya lagi, Sang Guru membiarkan laku sebagian murid dan sebagian ustaz yang menjual keagungan nilai-nilai makrifat. Selalu saja beralasan itu chapter mereka. Tidak! Ini bukan chapter. Ini soal nilai-nilai keadaban dalam diri. Jika bicara chapter, harusnya orang yang sudah memasuki ruang makrifat, ia telah sadar masuk dalam chapter yang bernama keilahian. Nilai-nilai keilahian ini akan membendung laku bisnis atas nama makrifat. Laku berdagang.

Sungguh, kalian telah menipu sebagian orang yang rindu kehadiran Allah dalam diri dengan mengusung bendera makrifat.


Ditulis oleh Edy Ahmad Effendi di catatan facebook berjudul Jangan Jual Ayat atas Nama Makrifat

Related Posts:

Kamar Mandi Luas, Bak Selalu Kosong

Gunawan Budi Susanto

Malam tadi, selepas isya, Kluprut bertandang ke rumah saya. Belum lama duduk, dia minta izin ke kamar mandi. Tak lama kemudian, dia kembali ke teras. Kami duduk berhadapan.
“Kau aneh, Kang!” ujar Kluprut, setelah menyulut dan mengisap kretek.
“Kenapa?” sahut saya.
“Kamar mandimu luas, seluas kamarku. Namun, aneh, bak airnya kecil dan kosong! Cuma ada satu ember berisi sedikit air. Padahal, air tak pernah berhenti mengalir dari sumurmu kan?”
“Apa yang aneh?”
“Ya, anehlah! Kamar mandi luas, bak air kecil dan selalu kosong. Malah cuma ada satu ember tak berisi penuh. Lalu, buat apa bikin kamar mandi macam itu? Bak mandi tak terisi, cuma ada ember kecil! Pemandangan tak elok!”
Saya tersenyum getir. Keki.
“Sejak dulu aku punya impian, jika bisa membangun rumah bakal bikin kamar mandi luas dengan bak lebar dan panjang. Alhamdulillah, terkabul. Aku punya rumah. Tidak megah dan mewah memang, tetapi sungguh nyaman kami tinggali. Dan, terkabul pula impianku: punya kamar mandi luas,” ujar saya.
“Kenapa harus luas?”
“Aku senang berlama-lama di kamar mandi. Aku senang berlama-lama beol sambil merangkai cerita, yang kemudian bisa kutulis. Entah jadi cerpen, puisi, esai, atau apa saja.”
“Ya, tapi kenapa harus luas?”
“Kamar mandi luas membuat aku betah berlama-lama. Kamar mandi luas membuat aku merasa lapang. Tidak sumpek, pengap. Apalagi aku merokok saat beol. Jadi sekeluar dari kamar mandi, asap rokok tak mengganggu anak atau istriku yang bergiliran ke kamar mandi. Ada lubang ventilasi cukup lebar. Asap bisa segera keluar.”
“Cuma itu?”
“Tidak.”
“Apa?”
“Dulu, sewaktu bocah, aku acap berenang di bak kamar mandi keluargaku di Blora. Nah, aku senang jika suatu saat, sebelum bisa mengajak anak-anakku, Kinan dan Titis, berenang di kolam renang, biarlah mereka berenang di bak kamar mandi. Ha-ha-ha!”
“Itulah yang kemudian terjadi?”
“Ya.”
“Namun kenapa sekarang bak itu jadi kecil sekali? Lebih kecil dari kebanyakan bak di kamar mandi perumahan?”
“Ha-ha-ha! Itu ikhtiar jenial istriku.”
“Jenial?”
“Iya. Semula bak itu selebar 125 sentimeter, panjang 200 sentimeter, dan kedalaman 90 sentimeter. Kinan dan Titis, yang saat itu masih kecil, leluasa berkecipak, slulup, dan berenang di bak itu. Ketika memergoki aku membiarkan saja Kinan dan Titis berenang di bak kamar mandi, istriku marah. ‘Boros!’ ujar dia. Lalu dia meminta Kinan dan Titis mentas, dan membebankan pengurasan bak mandi kepadaku.”
“Terus?”
“Ya, aku harus menguras dan membersihkan bak itu sampai bersih-sih! Lalu kuisi kembali sampai mewer-mewer. Aku senang melihat air di bak kamar mandi kimplah-kimplah.”
“Lalu?”
“Ita, istriku, tetap marah-marah. Apalagi ketika Nenek – sapaan anak-anak bagi ibu mertuaku – mandi. Jebar-jebur, asyik. Aku suka, karena di Blora kami nyaris selalu kekurangan air, nyaris selalu kesulitan mandi, pada musim kemarau. Bagiku, menyenangkan bisa membuat Nenek mandi dengan riang. Ha-ha-ha!”
“Terus?”
“Ita berseru, ‘Nek, nek siram aja boros-boros. Ingat saat kesulitan air. Hemat air ngapa!’ Waduh, aku keki. Masa hidup sekali saja, keriangan saat mandi bisa jebar-jebur mesti dicegah? Nah, sepulang Nenek ke Blora, istriku memanggil tukang. Dia minta bak kamar mandi diperkecil sekaligus kedalamannya dikurangi. Aku mengalah. Ketika perbaikan selesai, kuisi bak sepenuh-penuhnya. Lagi-lagi istriku marah. ‘Boros! Isi secukupnya saja, seperlunya. Ingat saat kesulitan air. Air mahal!’ Lagi-lagi aku mengalah.”
“Terus?”
“Ya, begitulah, akhirnya malah bak itu selalu kosong. Dia memasang selang ke keran air di atas bak dan menampung air di sebuah ember. Hanya saat mandi, ember diisi penuh. Berlakulah ketentuan: siapa pun yang mandi hanya boleh menghabiskan air satu ember itu. ‘Hemat air!’ kata Ita.”
“Memang pemandangan tak elok. Kamar mandi luas, bak kecil selalu kosong. Malah pakai ember berisi air. Namun tak apa karena ternyata itu upaya penghematan air. Bagus! Aku salut pada istrimu, Kang!”
“Ya, hemat sih hemat, tapi….”
“Tapi apa?”
“Sikap hemat air itu tak cuma berlaku di rumah, tetapi juga berlaku bagi tetangga. Repot juga.”
“Kenapa repot?”
“Ya, tak enak hatilah aku. Masa ketika tetangga bersikap boros air, dia juga marah dan mewujudkan kemarahan tanpa segan, tanpa sungkan.”
“Lo, bagus itu!”
“Bagus gundulmu! Aku malu, aku ewuh.”
“Kenapa malu? Kenapa ewuh?”
Gimana nggak malu dan ewuh? Dia bisa marah-marah pada tetangga yang memboroskan air.”
“Contohnya?”
“Tetanggaku acap lalai, tak segera mematikan keran ketika tandon telah penuh terisi air yang mengalir dari sumur kolektif di kampung. Air meluber, ngocor tak henti-henti, terbuang percuma. Itu acap terjadi berjam-jam. Jika aku tahu, diam-diam kumatikan keran di tepian jalan itu. Namun istriku justru marah. ‘Biarkan. Jika itu sampean lakukan setiap kali, ya dia tak pernah mau mengerti. Lalu mbubohke, menggantungkan diri pada orang lain untuk mematikan keran air itu.’ Tak cukup sampai di situ. Dia sering mengirim SMS kepada tetanggaku itu. ‘Jangan lantaran merasa punya uang, lalu membuang-buang air seenak hati! Ingat, banyak orang butuh air dan tidak setiap saat bisa memperoleh dengan gampang. Matikan keran airmu.’ Seperti itulah pesan singkat yang dia kirim. Memang manjur. Tetanggaku segera keluar rumah, mematikan keran air itu. Namun, kembali, lain kali peristiwa serupa terulang. Lagi-lagi, istriku marah dan kembali mengirim SMS serupa. Ya, aku malu. Kok jadi mengurusi rumah tangga orang lain.”
“Lo, tindakan tetanggamu itu memang pantas memancing kemarahan! Sikap istrimu benar. Dia patut marah dan sepantasnya marah. Bagus itu, tindakan yang bagus!”
Saya terdiam. Kluprut memang keranjingan. Seenak hati saja mengubah pandangan. Mula-mula mengecam, kemudian memuji. Sialan!
Namun, diam-diam, akhirnya saya menyetujui sikap Ita, istri saya. Sejak dulu sampai sekarang, di Blora Kota, setiap kali musim kemarau tiba, air sulit kami peroleh. Sumur-sumur mengering. Orang-orang yang punya duit, enak saja, tinggal membeli. Keluarga dia, menurut penuturan Ita, dulu mesti bersusah-payah memenuhi kebutuhan akan air. Ngangsu berkilometer-kilometer dari rumah, dengan peralatan seadanya, menjadi beban tambahan yang tak ringan.
Karena itulah, dia merasa wajar menghargai air sebegitu rupa. Hemat memakai air dan menghargai air sebagaimana adanya – sebagai karunia Tuhan – mesti diunjukkan secara terus-menerus. Maka, pilihan sikap untuk menghemat air justru ketika berkelimpahan merupakan keharusan. Namun, masa perlu sih marah-marah pada setiap orang, termasuk tetangga, yang bersikap berbeda? Itulah yang belum mampu saya lakukan. Dan, Ita, oh dia berani marah, berani pula menangggung akibat dari kemarahan itu.
“Apa?”
“Tidak disukai, bahkan mungkin dibenci tetangga.”
“Bagus itu!” sahut Kluprut.
“Bagus gundulmu!” ujar saya keki.
“Ya, baguslah. Berani bersikap, berani menanggung akibat. Ksatria. Kamu saja yang pengecut!”
Sialan!


Demikian catatan yang ditulis Kang Putu, berjudul kamar mandi luas, bak selalu kosong

Related Posts:

Apa Guna Kuliah Lama, Bebal Pula?

Gunawan Budi Susanto


Kluprut datang dini hari, usai saya menutup kedai kopi dan masih mengobrol dengan Dicki, mahasiswa sejarah. Kami mengobrol di sesela saya membaca puluhan cerpen peserta lomba yang diadakan mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang (FIP Unnes). Sesekali Dicki asyik memelototi tayangan Toni Blank.
“Berapa lama dulu kau kuliah, Kang?” tanya Kluprut, setelah menyeduh kopi samin dan duduk di seberang meja saya.
Halah! Sudah tahu, kenapa bertanya pula?” sahut saya.
“Ya, pernyataan darimu penting agar aku tak menyalahi prinsip kerja jurnalistik – sebagaimana kau ajarkan di kampus,” sergah Kluprut seraya nyengir. “Iya toh? Nah, sekarang jawab secara jujur, berapa lama dulu kau kuliah?”
“Kenapa sih? Mau mengungkap aibku pada masa lalu?”
Halah! Kok jadi peka! Sudah, jawab saja, apa susahnya sih?”
“Dua puluh tujuh semester!”
“Wow! Itu keseluruhan semester dari strata I sampai strata III ya? Doktor dong?”
Gak usah ngece, tak usah mengejek. S-1! Sarjana sastra dari Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra (kini Ilmu Budaya) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Puas!?”
“Ha-ha-ha! Kok marah?”
Saya terdiam. Lalu, melanjutkan membaca cerpen. Saya mesti segera merampungkan penilaian terhadap cerpen-cerpen itu dan menentukan tiga besar. Namun pekerjaan itu terganggu, ketika Kluprut kembali menyodokkan pertanyaan.
“Apa saja yang kaulakukan sampai kuliah tiga belas setengah tahun macam itu? Kawan-kawanmu lulus doktor, saat yang sama kau baru sarjana strata satu. Nggak malu?”
Sialan!
“Kenapa malu? Jalan hidup orang kan berbeda-beda?” sahutku jengkel.
“Wah, kalau kau tak malu, ya itu memalukan!”
Prek!
“Memang dulu tak ada pembatasan masa kuliah, Kang?” sahut Dicki seraya memperkecil volume tayangan di laptop.
“Ada. Sama seperti sekarang, maksimal 14 semester.”
“Kok njenengan bisa sampai 27 semester?”
“Ya bisa saja, wong dia tak punya malu!” sergah Kluprut.
Saya kembali terdiam. Sialan, mengganggu pekerjaan saja.
“Dulu, pengelolaan sistem di universitas masih manual. Tidak seperti sekarang, semua terkomputerkan dalam jaringan (daring/on line),” ujar saya. “Dulu sistem pengecekan dan evaluasi dua tahunan, karena manual, jadi titik lemah, jadi celah, yang bisa kami manfaatkan untuk menunda-nunda kelulusan.”
“Ah, sistem! Sistem itu inhuman, tidak manusiawi. Bagaimana jika seseorang terlambat sekian menit? Dalam perjalanan ke ATM untuk membayar uang kuliah, mahasiswa itu mesti menolong seseorang yang kecelakaan di jalan. Apakah sistem itu tahu? Apakah sistem itu bisa menenggang? Apakah manusia di balik sistem itu bisa mengerti? Prek! Sistem itu dibuat untuk mempermudah manusia, bukan mempersulit. Namun nyatanya cuma menggampangkan pekerjaan birokrat pemalas!” sahut Kluprut getas.
“Sudah deh, Prut, tak usah bicara perkara yang tak kaupahami. Mending bantu aku agar pekerjaan ini segera rampung.”
“Apa yang bisa kulakukan untuk membantumu?”
“Diam.”
“Wow! Kau pun sudah tertular virus main larang ya? Melarang orang lain bicara, mengutarakan pendapat yang bisa saja berbeda. Melarang orang demonstrasi, padahal itu hak konstitusional. Melarang orang diskusi, nonton film, main teater? Ho-ho-ho…. Lalu apa beda dari dulu, ketika kita berada di bawah pemerintahan Soeharto yang tiranik, despotik, bengis? Inikah buah perlawanan, menumbangkan penguasa bengis itu? Restorasi kekuasaan? Cuma ganti penguasa? Atau, sebenarnya tak pernah ada pergantian penguasa karena berapa pun dan siapa pun sang presiden, sang penguasa tetap saja: militer! Begitu? Dan, kau pun takluk di hadapan duli paduka tuan besar penguasa yang sebisa-bisa membuat siapa saja, kapan saja, di mana saja, dalam posisi apa saja menyensor diri sejak dalam pikiran? Hebat, hebat!”
Begitulah, sekali memberi kesempatan Kluprut bicara, sulit mengerem mulut bocornya. Sialan!
Mbok bicara tanpa ngawur, Prut.”
“Ngawur? Kau pula yang ngawur. Atau, pandangan matamu sudah mengabur? Apa yang beda dari dulu? Sampai sekarang sama saja, polisi dan militer masih jadi centeng pemodal, kepentingan korporasi. Mereka acap digunakan untuk menggebah, bahkan menekan petani, buruh, mahasiswa. Apa kau tak melihat polisi melakukan kekerasan terhadap para ibu di Pegunungan Kendeng Utara, 16 Juni 2014, saat memprotes dan menghalangi peletakan batu pertama pendirian pabrik semen di kawasan mereka? Polisi menggebrak ibu-ibu tanpa senjata, ibu-ibu kita! Coba, apa yang terpikir di benakmu? Kau pun belum lupa kan tindakan militer di Urutsewu, Kebumen, yang memagar tanah petani dan mendaku sebagai tanah mereka? Dengan alasan itu, militer bisa menggunakan segala daya memberangus perlawanan petani. Belum lama ini juga terjadi di Surokonto, Kendal. Apa tak kaulihat pula? Petani yang turun-temurun tinggal dan mengolah tanah itu, dihadapi dengan kekerasan dan dikriminalisasi ketika militer mendaku tanah tersebut dan menjual ke pabrik semen yang kemudian ditukargulingkan ke Perhutani – bagian dari imbas dan kebohongan pendirian pabrik semen di Rembang. Apakah itu telah membutakan nuranimu, sehingga menganggapnya tak pernah terjadi? Di Papua, apa pula yang telah dan terus terjadi jika bukan penghancuran segala apa? Apa beda dari dulu, ketika Soeharto berjaya?”
Saya terdiam. Ya, saya terdiam mendengar cerocosan Kluprut. Terus terang, saya takut omongan Kluprut terdengar intel, lalu kami…. Ah, benarkah keadaan belum berubah menjadi lebih baik, lebih aman, lebih nyaman ketimbang dulu, ketika setiap saat kami harus berpetak umpet melawan kebengisan rezim Soeharto?
“Dulu, diskusi buku Pram saja beberapa mahasiswa Jogja dibui. Kini, malah ada dekan melarang mahasiswa mendiskusikan buku tulisan sang dosen. Itu di kampus lo, di kampus, tempat calon pemimpin ditempa! Apa bedanya?”
Saya tetap berdiam diri dan berharap Kluprut mengunci mulut.
“Betul, Kang! Diskusi buku dilarang. Bahkan ketika hendak didiskusikan di komunitas, di luar kampus, orang-orang dari kampus pun menekan agar diskusi itu dibatalkan,” sahut Dicki.
Aduh! Kenapa anak muda itu nimbrung juga?
“Nah!” sergah Kluprut bak api beroleh kipas. “Dan, kau diam saja mendengar dan melihat kebebalan macam itu merebak? Apa pertanggungjawabanmu sebagai terpelajar, meski untuk lulus pun kau butuh 27 semester? Toh keterpelajaran tak berbanding lurus dengan pendidikan formal. Keterpelajaran juga tak identik dengan gelar bereret di depan atau belakang nama. Jangan pula kau berkilah di balik dalih: aku cuma penjual kopi. Klise!”
Saya bercepat-cepat membaca cerpen. Namun, aduh, sungguh sulit berkonsentrasi. Omongan Kluprut membuyarkan perhatian saya.
“Prut, aku pulang dulu ya. Kalau kau mau bertahan di kedai ini, mungkin Dicki bersedia menemani,” ujar saya sambil membenahi berkas, memasukkan ke dalam ransel, lalu beranjak keluar kedai.
“Dasar penakut! Apa guna kuliah lama, bebal pula!” rutuk Kluprut, yang masih terdengar ketika saya menyalakan mesin motor. “Lagipula kau belum menjawab pertanyaanku. Hoi, apa yang kaulakukan ketika berlama-lama kuliah? Sudah kuliah lama, bebal pula. Cih!”
Sialan! Saya mempergegas diri, melajukan motor, meninggalkan kedai.

Patemon, 2 Juli 2016: 02.59

Catatan ini ditulis oleh Kang Putu, berjudul Apa Guna kuliah lama, bebal pula.

Related Posts:

amazon