Apa Guna Kuliah Lama, Bebal Pula?

Gunawan Budi Susanto


Kluprut datang dini hari, usai saya menutup kedai kopi dan masih mengobrol dengan Dicki, mahasiswa sejarah. Kami mengobrol di sesela saya membaca puluhan cerpen peserta lomba yang diadakan mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang (FIP Unnes). Sesekali Dicki asyik memelototi tayangan Toni Blank.
“Berapa lama dulu kau kuliah, Kang?” tanya Kluprut, setelah menyeduh kopi samin dan duduk di seberang meja saya.
Halah! Sudah tahu, kenapa bertanya pula?” sahut saya.
“Ya, pernyataan darimu penting agar aku tak menyalahi prinsip kerja jurnalistik – sebagaimana kau ajarkan di kampus,” sergah Kluprut seraya nyengir. “Iya toh? Nah, sekarang jawab secara jujur, berapa lama dulu kau kuliah?”
“Kenapa sih? Mau mengungkap aibku pada masa lalu?”
Halah! Kok jadi peka! Sudah, jawab saja, apa susahnya sih?”
“Dua puluh tujuh semester!”
“Wow! Itu keseluruhan semester dari strata I sampai strata III ya? Doktor dong?”
Gak usah ngece, tak usah mengejek. S-1! Sarjana sastra dari Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra (kini Ilmu Budaya) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Puas!?”
“Ha-ha-ha! Kok marah?”
Saya terdiam. Lalu, melanjutkan membaca cerpen. Saya mesti segera merampungkan penilaian terhadap cerpen-cerpen itu dan menentukan tiga besar. Namun pekerjaan itu terganggu, ketika Kluprut kembali menyodokkan pertanyaan.
“Apa saja yang kaulakukan sampai kuliah tiga belas setengah tahun macam itu? Kawan-kawanmu lulus doktor, saat yang sama kau baru sarjana strata satu. Nggak malu?”
Sialan!
“Kenapa malu? Jalan hidup orang kan berbeda-beda?” sahutku jengkel.
“Wah, kalau kau tak malu, ya itu memalukan!”
Prek!
“Memang dulu tak ada pembatasan masa kuliah, Kang?” sahut Dicki seraya memperkecil volume tayangan di laptop.
“Ada. Sama seperti sekarang, maksimal 14 semester.”
“Kok njenengan bisa sampai 27 semester?”
“Ya bisa saja, wong dia tak punya malu!” sergah Kluprut.
Saya kembali terdiam. Sialan, mengganggu pekerjaan saja.
“Dulu, pengelolaan sistem di universitas masih manual. Tidak seperti sekarang, semua terkomputerkan dalam jaringan (daring/on line),” ujar saya. “Dulu sistem pengecekan dan evaluasi dua tahunan, karena manual, jadi titik lemah, jadi celah, yang bisa kami manfaatkan untuk menunda-nunda kelulusan.”
“Ah, sistem! Sistem itu inhuman, tidak manusiawi. Bagaimana jika seseorang terlambat sekian menit? Dalam perjalanan ke ATM untuk membayar uang kuliah, mahasiswa itu mesti menolong seseorang yang kecelakaan di jalan. Apakah sistem itu tahu? Apakah sistem itu bisa menenggang? Apakah manusia di balik sistem itu bisa mengerti? Prek! Sistem itu dibuat untuk mempermudah manusia, bukan mempersulit. Namun nyatanya cuma menggampangkan pekerjaan birokrat pemalas!” sahut Kluprut getas.
“Sudah deh, Prut, tak usah bicara perkara yang tak kaupahami. Mending bantu aku agar pekerjaan ini segera rampung.”
“Apa yang bisa kulakukan untuk membantumu?”
“Diam.”
“Wow! Kau pun sudah tertular virus main larang ya? Melarang orang lain bicara, mengutarakan pendapat yang bisa saja berbeda. Melarang orang demonstrasi, padahal itu hak konstitusional. Melarang orang diskusi, nonton film, main teater? Ho-ho-ho…. Lalu apa beda dari dulu, ketika kita berada di bawah pemerintahan Soeharto yang tiranik, despotik, bengis? Inikah buah perlawanan, menumbangkan penguasa bengis itu? Restorasi kekuasaan? Cuma ganti penguasa? Atau, sebenarnya tak pernah ada pergantian penguasa karena berapa pun dan siapa pun sang presiden, sang penguasa tetap saja: militer! Begitu? Dan, kau pun takluk di hadapan duli paduka tuan besar penguasa yang sebisa-bisa membuat siapa saja, kapan saja, di mana saja, dalam posisi apa saja menyensor diri sejak dalam pikiran? Hebat, hebat!”
Begitulah, sekali memberi kesempatan Kluprut bicara, sulit mengerem mulut bocornya. Sialan!
Mbok bicara tanpa ngawur, Prut.”
“Ngawur? Kau pula yang ngawur. Atau, pandangan matamu sudah mengabur? Apa yang beda dari dulu? Sampai sekarang sama saja, polisi dan militer masih jadi centeng pemodal, kepentingan korporasi. Mereka acap digunakan untuk menggebah, bahkan menekan petani, buruh, mahasiswa. Apa kau tak melihat polisi melakukan kekerasan terhadap para ibu di Pegunungan Kendeng Utara, 16 Juni 2014, saat memprotes dan menghalangi peletakan batu pertama pendirian pabrik semen di kawasan mereka? Polisi menggebrak ibu-ibu tanpa senjata, ibu-ibu kita! Coba, apa yang terpikir di benakmu? Kau pun belum lupa kan tindakan militer di Urutsewu, Kebumen, yang memagar tanah petani dan mendaku sebagai tanah mereka? Dengan alasan itu, militer bisa menggunakan segala daya memberangus perlawanan petani. Belum lama ini juga terjadi di Surokonto, Kendal. Apa tak kaulihat pula? Petani yang turun-temurun tinggal dan mengolah tanah itu, dihadapi dengan kekerasan dan dikriminalisasi ketika militer mendaku tanah tersebut dan menjual ke pabrik semen yang kemudian ditukargulingkan ke Perhutani – bagian dari imbas dan kebohongan pendirian pabrik semen di Rembang. Apakah itu telah membutakan nuranimu, sehingga menganggapnya tak pernah terjadi? Di Papua, apa pula yang telah dan terus terjadi jika bukan penghancuran segala apa? Apa beda dari dulu, ketika Soeharto berjaya?”
Saya terdiam. Ya, saya terdiam mendengar cerocosan Kluprut. Terus terang, saya takut omongan Kluprut terdengar intel, lalu kami…. Ah, benarkah keadaan belum berubah menjadi lebih baik, lebih aman, lebih nyaman ketimbang dulu, ketika setiap saat kami harus berpetak umpet melawan kebengisan rezim Soeharto?
“Dulu, diskusi buku Pram saja beberapa mahasiswa Jogja dibui. Kini, malah ada dekan melarang mahasiswa mendiskusikan buku tulisan sang dosen. Itu di kampus lo, di kampus, tempat calon pemimpin ditempa! Apa bedanya?”
Saya tetap berdiam diri dan berharap Kluprut mengunci mulut.
“Betul, Kang! Diskusi buku dilarang. Bahkan ketika hendak didiskusikan di komunitas, di luar kampus, orang-orang dari kampus pun menekan agar diskusi itu dibatalkan,” sahut Dicki.
Aduh! Kenapa anak muda itu nimbrung juga?
“Nah!” sergah Kluprut bak api beroleh kipas. “Dan, kau diam saja mendengar dan melihat kebebalan macam itu merebak? Apa pertanggungjawabanmu sebagai terpelajar, meski untuk lulus pun kau butuh 27 semester? Toh keterpelajaran tak berbanding lurus dengan pendidikan formal. Keterpelajaran juga tak identik dengan gelar bereret di depan atau belakang nama. Jangan pula kau berkilah di balik dalih: aku cuma penjual kopi. Klise!”
Saya bercepat-cepat membaca cerpen. Namun, aduh, sungguh sulit berkonsentrasi. Omongan Kluprut membuyarkan perhatian saya.
“Prut, aku pulang dulu ya. Kalau kau mau bertahan di kedai ini, mungkin Dicki bersedia menemani,” ujar saya sambil membenahi berkas, memasukkan ke dalam ransel, lalu beranjak keluar kedai.
“Dasar penakut! Apa guna kuliah lama, bebal pula!” rutuk Kluprut, yang masih terdengar ketika saya menyalakan mesin motor. “Lagipula kau belum menjawab pertanyaanku. Hoi, apa yang kaulakukan ketika berlama-lama kuliah? Sudah kuliah lama, bebal pula. Cih!”
Sialan! Saya mempergegas diri, melajukan motor, meninggalkan kedai.

Patemon, 2 Juli 2016: 02.59

Catatan ini ditulis oleh Kang Putu, berjudul Apa Guna kuliah lama, bebal pula.

Related Posts:

0 Response to "Apa Guna Kuliah Lama, Bebal Pula?"

Posting Komentar

amazon