Dosa Struktural

cak nun.Dosa struktural dipahami sesudah diketahui dan dialami bahwa sesudah kehidupan ini dibangun dan dilaksanakan dengan menggunakan institusi yang bernama Negara, dengan susunan dan tatanan unsur-unsur kehidupan bermasyarakat - di bawah negara - yang dialektis dan terkait satu sama lain, bahkan ada keterkaitan komprehensif antara Negara dengan Negara, antara masyarakat dengan masyarakat. Fenomena globalisasi membuat inter-relasi antara Negara dan masyarakat di sebagai bidang menjadi hampir tak ada dindingnya lagi.

Kalau ada suatu Negara dijajah oleh Negara lain dan itu membuat masyarakat Negara yang dijajah itu menjadi miskin, tidak percaya diri dan serta tidak tertata hidupnya; dan kalau dalam Islam dikenal adagium "kaadal faqru an-yakuuna kufron", kemiskinan itu cenderung mendorong pelakunya ke perbuata-perbuatan kufur - maka tidakkah logis kalau disimpulkan bahwa para inisiator dan pelaku penjajahan itu turut bertanggung jawab atas kekufuran masyarakat yang dijajah? Bahkan lebih dari itu, tidak mungkinkah masyarakat penjajah menanggung dosa lebih besar karena justru merekalah penyebab utama kekufuran masyarakat yang terjajah?

Kalau dominasi produk budaya tertentu - umpamanya melalui media televisi -- membuat anak-anak kita rusak mentalnya, tidak terjaga iman dan jiwa religiousnya, bahkan lantas memiliki kebiasaan-kebiasaan hidup yang menjauhkannya dari Allah - apakah anak-anak kita yang paling besar menanggung dosanya, ataukah produser budaya itu yang akan lebih dihisab oleh Allah? Dan ini juga berlaku pada semua sektor kehidupan di mana pemegang mainstream pelaku destruksi-destruksi moral dan kemanusiaan. Anak-anak muda yang rusak hidupnya, yang nyandu narkoba, yang cengengesan karena tontonan-tontonan memang hanya mendidik mereka untuk cengengesan, yang kehilangan masa depan, yang tidak perduli pada kebenaran dan tidak menomer-satukan Tuhan - apakah mereka berdosa sendirian?


 cak nun.
Ini juga bisa terjadi pada skala yang lebih kecil dalam kehidupan sehari-hari. Orang mencuri ada sebabnya, orang menjadi rusak ada asal usulnya, bahkan tidak ada wanita yang bercita-cita menjadi pelacur dan tidak ada lelaki yang berdegam-degam hatinya karena punya cita-cita untuk merampok. Juga banyak kejadian-kejadian kecil sehari-hari yang kita akrabi yang jika berupa keburukan atau kejahatan - tidak serta merta kita hakimi sebagai suatu perbuatan yang berdiri sendiri.

Anak-anak mengemis di perempatan jalan, anak-anak menghisap narkoba, pemuda-pemudi melakukan seks bebas: bisakah mereka disalahkan sendirian dan dihukum sendirian. Bukankah ada keterkaitan struktural antara perbuatan mereka dengan segala sesuatu, termasuk orang-orang dan system, yang menjadikan mereka seperti itu. Bukankah sederhana saja untuk mengarifi itu: kalau ada pejalan kaki terpeleset kakinya oleh kulit pisang, bisakah kita yakin bahwa orang yang membuat kulit pisang itu bebas dari tanggung jawab atas jatuhnya orang itu? ?
cak nun.

Related Posts:

Generasi Kempong


cak nun.Salah satu jenis kelemahan manusia adalah kecenderungan terlalu gampang percaya atau terlalu mudah tidak percaya. Masih mending kalau mau mengkritik: "Cak Nun tulisannya susah dipahami, harus dibaca dua tiga kali baru bisa sedikit paham."

Saya menjawab protes itu: "Anda kempong ya?"

"Kok kempong..maksudnya?"

"Kalau kempong ndak punya gigi, harus makan makanan yang tidak perlu dikunyah. Orang kempong ndak bisa makan kacang, bahkan krupukpun hanya di-emut. Kalau orang punya gigi, dia bisa menjalankan saran dokter: kalau makan kunyahlah 33 kali baru ditelan. Sekedar makanan, harus dikunyah sampai sekian banyak kali agar usus tidak terancam dan badan jadi sehat. Lha kok tulisan, ilmu, informasi, wacana - maunya langsung ditelan sekali jadi"
Teman saya itu nyengenges.

"Coba Anda pandang Indonesia yang ruwet ini. Wong kalau Anda mengunyahnya sampai seribu kalipun belum tentu Anda bisa paham. Segala ilmu sosial, ilmu politik, ilmu ekonomi dan kebudayaan mandeg dihadang keruwetan Indonesia. Ilmuwan-ilmuwan kelas satu saja kebingungan membaca Indonesia, lha kok Anda ingin mengenyam makanan tanpa mengunyah.

Yokopo se mbaaaah mbah! Sampeyan iku jik cilik kok wis tuwek..."

Kebudayaan kita instan. Mie-nya instan. Lagunya instan. Maunya masuk sorga juga instan. Kalau bisa, dapat uang banyak langsung, ndak usah kerja ndak apa-apa. Kalau perlu ndak usah ada Indonesia ndak apa-apa, ndak usah ada Nabi dan Tuhan juga ndak apa-apa, asal saya punya duit banyak.
Sedangkan Kitab Suci perlu kita baca terus menerus sepanjang hidup, itupun belum tentu memperoleh ilmu dan hikmah. Wong kita tiap hari shalat lima waktu rajin khusyuk sampai bathuk benthet saja belum tentu menemukan kebenaran. Wong naik haji sampai sepuluh kali saja belum dijamin akan memperoleh ridhollah. Lha kok sekali baca ingin mendapat kedalaman nilai, lha kok lagu-lagu pop diharapkan menawarkan kualitas hidup, lha kok menyanyikah shalawat dianggap sama dengan bershalawat atau melakukan shalawat.


Kalau Anda karyawan produksi televisi, Anda harus memperhitungkan harus bikin tayangan gambar yang sedetik dua dua detik nongol maka orang langsung senang. Penonton jangan dituntut untuk sedikit sajapun mendalami apa yang mereka tonton. Pokoknya kalau di depan TV sekilas pandang orang tak senang, ia akan langsung pindah channel.
Jadi bikinlah tayangan yang diperhitungkan sebagai konsumsi orang-orang kempong yang tidak memiliki kemampuan dan tak punya waktu untuk mengunyah, menghayati dan mendalami. Maka acara yang terbaik adalah joget, joget, joget.itu dijamin pasti langsung laku. Anda tak perlu berpikir tentang mutu kebudayaan, pendidikan manusia, sosialisasi nilai-nilai sosial atau apapun saja.

Baca koran juga dengan metodologi kempong. Generasi kempong tidak punya waktu dan tidak memiliki tradisi untuk tahu beda antara kalimat sindiran dengan bukan sindiran. Tak tahu apa itu ironi, sarkasme, sanepan, istidraj. Meskipun saya maling, asal saya omong seperti Ulama, maka saya dianggap Ulama.
 cak nun.
 
Sebaliknya meskipun saya tidak nyolong, kalau saya bilang "saya ini orangnya Suharto, saya dikasih perusahan PT Dengkulmu Mlicet..", orang instantly percaya bahwa saya memang orangnya Suharto. Meskipun saya seekor anjing, tapi kalu saya katakana bahwa saya kambing, orang langsung yakin bahwa saya bukan anjing. Generasi kempong sangat rentan terhadap apa saja, termasuk informasi.

Tidak ada etos kerja. Tidak ada ideologi dharma, atau �falya'mal 'amalan shalihan�. Yang kita punyai hanya obsesi hasil, khayal pemilikan dan kenikmatan. Apapun caranya. Boleh rejeki langsung dari langit, boleh hasil copetan atau korupsi. Gus Dur kena gate, Akbar kena gate, ada AsaramaGate ada AsmaraGate dan beribu-ribu gate yang lain dari - asalkan yang nyolong semuanya kan kita relatif aman. Pak Amin Rais bilang kalau kita paksakan Pansus Buloggate-II dibentuk berarti akan terjadi pembubaran parlemen.

Bahasa jelasnya, maling yang ditangkap yang tertentu saja. Kalau benar-benar memberantas maling, nanti DPR/MPR bubar, pemerintah bubar, seluruh Indonesia jadi Lowok Waru, Cipinang, buen-buen. Maka betapa indahnya kalau Pak Amin Rais menjadi pahlawan pembubaran Parlemen Maling, sebagai salah satu jalan mendasar dan total perbaikan dan penyembuhan Indonesia?


Sebab, lambat atau cepat, hal itu akan terjadi, meskipun tidak harus dalam bentuk wantah. Kalau rakyat tidak sanggup menagih, maka akan ada yang lebih kuat dari rakyat yang akan menagih. Pak Harto dikempongi, Habibie dikempongi, Gus Dur dikempongi, dan sekarang sedang mulai gencar Megawati dikempongi...

Asa an tukrihu syai-an wa huwa khoirul-lakum, wa 'asa an tuhibbu syai-an wa huwa syarrun lakum�. Apa yang selama ini engkau singkirkan, engkau anggap buruk, engkau coreng mukanya, engkau remehkan, engkau rendah-rendahkan atau engkau buang ke tong-tong sampah - akan menohok kesadaranmu dan engkau akan dipaksa menyadari bahwa sesungguhnya yang engkau anggap buruk itulah yang baik bagi kehidupan berbangsamu. Sebaliknya segala sesuatu yang engkau junjung-junjung, engkau blow-up, engkau puja-puji, engkau bela mati-matian, engka sangka akses utama masa depanmu - akan nglinthek di depan matamu dan engkau dipaksa menyadari bahwa ternyata ia sesungguhnya buruk bagi hidupmu.

Apa yang sesungguhnya egkau harapkan dari keadaan-keadaan yang semakin lama semakin menyiksamu ini? Siapa sebenarnya Imam-mu yang sungguh-sungguh bisa engkau percaya? Siapa presiden-sejatimu? Siapa pemimpin yang nasibmu bisa saling rebah bersamanya? Siapa yang menjamin sembako di pawon-mu dan uang sekolah anak-anakmu? Siapa yang menjaga keamanan keluargamu dan nyawa anak-anak serta istrimu, padahal engkau sudah membayar pajak?

Sampai kapan engkau menyanyikan lagu-lagu khayal siang malam di koran dan teve? Sampai kapan engkau berenang-renang di lautan takhayul? Apakah harus kita ubah Ajisoko kita menjadi Ho-no-co-ro-ko, Do-to-so-wo-lo, Po-dho-pe-kok-o, Mong-go-mo-dar-o..?

Sebenarnya diam-diam di dalam hatimu engkau sudah mulai merasakan dan mengakui hal itu, tetapi keangkuhan kolektifmu masih menjadi dinding bagi terbukanya kejujuranmu. Engkau tinggal memilih akan menjadi bagian dari generasi yang semakin kempong giginya, ataukah diam-diam engkau menumbuhkan lingkaran-lingkaran Indonesia baru yang menumbuhkan gigi-gigi masa depannya. ?cak nun.

Related Posts:

Benar Sendiri

cak nun.Ada tiga model kebenaran yang bisa kita temukan. Pertama, model kebenaran yang dipakai sendiri: benarnya sendiri (benere dhewe). Kedua, kebenaran yang diakui banyak orang (benere wong akeh), dan, ketiga kebenaran hakiki (bener kang sejati).

Sejak mendidik bayi sampai menjalankan penyelenggaraan negara, manusia harus sangat peka dan waspada terhadap sangat berbahayanya jenis kebenaran yang pertama. Artinya, orang yang berlaku berdasarkan benarnya sendiri, pasti mengganggu orang lain, menyiksa lingkungannya, merusak tatanan hidup bersama, dan pada akhirnya pasti akan menghancurkan diri si pelakunya sendiri.

Benarnya sendiri ini berlaku dari soal-soal di rumah tangga, pergaulan di kampung, di pasar, kantor, sampai ke
manifestasi-manifestasinya dalam skala sosial yang lebih luas berupa otoritarianisme, diktatorisme, anarkisme, bahkan pada banyak hal juga berlaku pada monarkisme atau teokrasi. Benarnya sendiri melahirkan firaun-firaun besar dalam skala negara dan dunia, serta memproduk firaun-firaun kecil di rumah tangga, di lingkaran pergaulan, di organisasi, bahkan di warung dan gardu.

Tidak mengagetkan pula jika benarnya sendiri juga terjadi di kalangan yang yakin bahwa mereka sedang menjalankan demokrasi. Ada seribu kejadian sejarah yang mencerminkan pandangan benarnya sendiri. Para pelaku demokrasi banyak menerapkan demokrasi berdasarkan paham benarnya sendiri tentang arti demokrasi itu. Orang yang selama berpuluh-puluh tahun diyakini sebagai seorang demokrat sejati, ditulis di koran-koran, buku-buku, digunjingkan di forum-forum nasional maupun internasional sebagai seorang demokrat teladan --ternyata pandangan-pandangan kolektif itu khilaf."cak nun.

Related Posts:

Agama Kok Departemen


cak nun.KALAU kita memegang tongkat kekuasaan, di level mana pun, biasanya ada empat hal yang mengejar-ngejar hati kita, mengendalikan perasaan, mempengaruhi perilaku --dan akal pikiran diperbudak oleh desakan emosi itu, untuk berkonsentrasi pada keempat hal tadi.

Yakni, pertama, bagaimana supaya tidak kehilangan kekuasaan. Kedua, bagaimana bisa memperpanjang kekuasaan. Kedua hal ini melahirkan yang ketiga: bagaimana menghimpun modal sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya, agar kekuasaan bisa dipertahankan --siapa tahu tiba-tiba muncul angin badai yang mengguncang kita dari kursi. Juga muncul yang keempat: di samping menumpuk modal, juga harus peka pada setiap momentum untuk bisa cari muka kepada rakyat dan semua pihak dalam kehidupan bernegara.

Hal-hal mengenai kehidupan rakyat, itu soal gampang dan bisa disepelekan. Sudah terbukti, selama sekian periode kekuasaan, dan tampaknya kita yakin belum ada perkembangan mendasar pada rakyat --sehingga sampai beberapa tahun lagi, insya Allah, rakyat masih bisa dikibulin. Tidak ada infrastruktur apa pun pada sosiologi politik kerakyatan kita, yang mampu menghalangi proses mempertahankan kebodohan rakyat. Kalau ada satu-dua kelompok aktivis berpikir dan berteriak tentang revolusi, anggap itu refrein sebuah lagu --toh, akhirnya nyanyian harus kembali ke bagian awal.

Rakyat tidak punya modal apa pun untuk melakukan revolusi, kecuali direkayasa untuk menciptakan adegan yang seolah-olah revolusi, kemudian dilegitimasi oleh bagaimana media memotretnya. Prestasi puncak kita sebagai rakyat adalah amuk dan kerusuhan. Cobalah Anda melingkar dalam satu kumpulan yang plural, terdiri dari suku apa pun, agama dan kelompok apa pun, juga tingkat pendidikan dari yang paling rendah sampai paling tinggi. Lalu, masing-masing orang Anda kasih benda-benda yang bisa menghasilkan bunyi kalau dipukul, entah ember, kentongan, kayu, atau apa pun. Kalau Anda meminta mereka membunyikan benda-benda itu, hasilnya adalah kothekan, ritme-ritme pukulan seperti kuda lumping atau jaran kepang yang dikuasai suasana in-trance. Mabuk. ndadi, alias mengamuk.

Kalau seni tradisi Aceh, suasana ndadi-nya sangat solid, tapi rata-rata musik dan tari mereka berakhir dengan black-out. Progresivisme masyarakat Aceh hanya bisa berhenti dalam keadaan mendadak atau semacam dipaksa berhenti. Kesenian Jawa yang "bebudaya" tidak memiliki situasi ndadi yang progresif, terlalu tertata dan tidak revolusioner. Jawa yang progresif hanya yang "primitif", kuda lumping: seakan-akan itu entakan-entakan revolusioner, padahal sesungguhnya mengamuk.
cak nun.


Kebaikan pun seringkali diaplikasikan secara ndadi. Menteri Agama kita yang harus menyesuaikan diri dengan "habitat Jawa" ndadi begitu melihat peluang yang baik dan penuh kemuliaan untuk menolong rakyat. Hanya orang ndadiyang tertutup ingatannya tentang tata hukum, pilah-pilah birokrasi, dan prosedur. Tradisi ndadi dalam berbuat baik sudah jamak dalam masyarakat kita. Naik haji dianggap pasti baik meskipun memakai uang tidak halal. Makin banyak naik haji, disimpulkan makin saleh pelakunya meskipun tetangga-tetangganya mlongo dan belum tentu bisa makan. Sehingga diperlukan eksplorasi dan ijtihad fikih Islam yang mempertimbangkan inter-relasi antara ibadah dan kondisi-kondisi sosial --sehingga akal sehat akan menemukan posisi hukum naik haji bisa wajib, sunah, halal, makruh, dan haram. Kecuali, Islam mengizinkan individualisme dan tidak meniscayakan substansi kejamaahan global.

Alhasil, seandainya hukum negara mengharuskan Menteri Agama diadili, yang diperlukan adalah saksi ahli bidang psikologi sosial yang mampu menjelaskan tentang fenomena ndadi, yang berarti suatu jenis ketidaksadaran tertentu. Ada kemungkinan, beliau lolos dari hukuman. Bahkan, siapa tahu, hampir semua pemimpin kita sebenarnya ndadi, sehingga pada hakikatnya mereka tidak salah. Ini alasan yang jitu untuk saling memaklumi. Apalagi, Pak Hakimnya ternyata juga ndadi
.

Negara kita sendiri memang sudah ndadi sejak dari sono-nya. Makanya, yang perlu diamandemen bukan hanya UUD 45, melainkan juga struktur otak dan metodologi pemahaman kita sendiri. Lha bagaimana, wong agama kok departemen. Kalau memang agama mau dilegalisasikan dan diformalkan, letaknya merangkum, bukan menjadi bagian. Jadi, mending agama disemayamkan di akal dan hati sajalah. Atau Anda semua monggo-monggo saja kalau mau meninggalkan agama. Tuhannya kan Allah, bukan Anda atau saya, jadi biar Beliau yang mengurusi akibat dari pilihan kita.

Departemen Agama tak usah dibubarkan, cukup direndah-hatikan menjadi "Departemen Sarana Peribadatan", misalnya. Yang mencemaskan adalah kalau kasus harta karun ini bukan ndadi, melainkan politik yang sadar. Kita tak akan pernah tahu, sebenarnya Bu Mega menyuruh atau tidak. Pernyataan sih tidak. Tapi, politik itu kan bau kentut: kita hanya mendengar bunyinya dan menghirup baunya, tidak tahu kenapa kok kentut, kenapa yang kentut si A kok bukan B, makan apa kok baunya begitu, kenapa kentutnya kemarin kok tidak besok?

Sudah lama rakyat bingung mendengar Dana Revolusi, Dana Nusantara, sertifikat di Bank Swiss, uang Brasil, lempengan emas dan platinum di Nusabarong, Bengkulu, Ungaran, Jember, Labuhan, Cipanas, Bekasi, Mbah Kartosuwiryo masih hidup di pantai Cilacap.
cak nun.

Related Posts:

Rahasiakan Kenabianmu

cak nun.Al-Qiyadah kalah seram dibanding Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar. Ahmad Mushaddeq, pemimpin aliran itu, menyatakan bahwa dirinya adalah rasul. Sedangkan Al-Hallaj menemukan "Akulah Kebenaran", dengan idiomatik bahwa Kebenaran, al-Haq, adalah Allah itu sendiri.

Perutusan para Wali menemui Siti Jenar untuk memanggil beliau menghadap pengadilan para Wali. Jenar, kabarnya, menjawab: "Syekh Siti Jenar tak ada. Yang ada Allah." Pulang balik, para utusan membawa "diplomasi" antara kedua belah pihak. Jawaban Jenar disampaikan dan utusan balik lagi kepada Jenar membawa kalimat: "Allah dipanggil menghadap para Wali." Jenar menjawab: "Allah tidak ada, yang ada Syekh Siti Jenar."

Proses berlanjut: "Allah dan Syekh Siti Jenar dipanggil menghadap para Wali." "Allah dan Syekh Siti Jenar tak ada, yang ada Syekh Siti Jenar dan Allah"....

Di puncak teater teologi-teosofi ini nanti Jenar dipenggal lehernya.

Wilayah ini memang rawan. Sering saya "nekat" menjawab pertanyaan banyak orang dengan upaya agar berkurang kerawanannya. Misalnya melalui karakterisasi Empat Khalifah:

Abu Bakar as-Shiddiq khalifah pertama itu manusia kultural: ia memandang sesuatu, mendekatinya, mengapresiasinya, belajar memahaminya, melakukan pendekatan kultural untuk mendekati kebenaran dan "menemukan Tuhan".

Umar bin Khattab manusia radikal: ia memerlukan semacam benturan untuk menemukan kebenaran dan menyadari kehadiran Tuhan. Utsman bin Affan manusia timbangan: tawazzun dengan rasio, kalkulasi, simulasi, untuk memperoleh resultan atau sintesis di titik tengah kebenaran Tuhan.

Ali bin Abi Thalib tidak memerlukan ketiga metode itu:kalau pandangan Ali hinggap pada daun, yang tampak olehnya adalah Allah, kalau bunyi menyentuh gendang telinganya yang terdengar olehnya adalah Allah. Ali tidak bisa menemukan apa pun kecuali Allah, karena selain Allah hanya seakan-akan ada-kelak para fisikawan dan biolog menggeremat menjelaskan itu.
Wujud ini, badan ini, fisik ini, besi atau daging dan apa pun, bahkan cahaya: itu bukan benda, melainkan sekadar simptoma yang untuk sementara disepakati sebagai benda. Kalau pakai persepsi linier kita menyimpulkan: bagi Ali gunung adalah Allah, sungai adalah Allah, dedaunan, debu, langit, kecebong dan gathul "adalah" Allah.
 cak nun.

Kita tak berani bilang Ali murtad, penganut Wihdatul Wujud, Manunggaling Kawula lan Gusti. Karena dalam sebuah majelis yang segar, penuh humor namun cerdas, sesudah Rasulullah Muhammad SAW "menguji" ketercerahan akal Ali dengan suatu "drama" komikal yang jenaka namun tak bisa saya kisahkan di sini. Rasulullah menyatakan betapa cerdas dan terbimbingnya akal Ali. Maka, kata Rasul, Ali adalah Babul 'Ilmi, Pintunya Ilmu Pengetahuan. Meskipun kemudian cerah akalnya Ali dituntun Allah juga untuk mengucapkan "pidato balasan": ke manakah langkahmu pergi sesudah kau lewati pintu ilmu, kecuali masuk ke dalam Kota Ilmu. Rasulullahlah kota ilmu itu.

Andaikan saja pengalaman spiritual, penemuan teosofis, dan pandangan teologis dilindungi oleh pelakunya jangan sampai tampil dalam konteks eksistensi, melainkan membumikan dirinya melalui tafsir dan aplikasi sosial. Maka, kalau engkau yakin bahwa engkau nabi, sudahlah, tolonglah saja dunia ini, selamatkanlah manusia, terutama manusia Indonesia yang sudah mencapai puncak kebingungan, keputusasaan, kebebalan, kekosongan, kehilangan-tak penting sama sekali orang mengerti kita nabi atau bukan.

Tentu engkau bebas merdeka menjadi siapa pun, tapi mengalahlah, pilih pekerjaan menolong sajalah dalam peta kehidupan bernegara ini. Bikinlah kesepakatan dengan Tuhan untuk secepat mungkin memusnahkan penjahat-penjahat negara ini yang terus merajalela mengisap darah rakyat dan memboros-boroskan harta alam nusantara.

Umpama engkau menemukan lubuk makna sangat mendalam secara sangat pribadi dari "Manunggaling Kawula lan Gusti", menyatunya hamba dengan Tuhan, umpamanya: rahasiakanlah. Rakyat pusing cari makan dan bayar sekolah anaknya, jangan tambahi persoalan dengan suruh berpikir tentang nabi, Tuhan, Al ini Al itu.

Tafsirkan saja secara sosial. "Manunggaling Kawula lan Gusti" adalah menyatunya Tuhan dengan rakyat di dalam kalbu dan akal sehat para Pemimpin. Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, Menteri, Wakil Rakyat, Presiden, tidak akan pernah memisahkan "pernikahan" antara kepentingan rakyatnya dan kasih sayang Tuhan. Mereka tak akan melakukan tindakan yang menyakiti rakyat, karena Tuhan pasti marah. Mereka juga tak akan menyakiti hati Tuhan, karena lambat atau cepat akan menghasilkan pergolakan rakyat.
cak nun.

Related Posts:

Aturan Perampok untuk Pengemis


cak nun.Sejak zaman muda masih kos dulu, saya memang tidak suka ngasih apa - apa kepada pengemis. Alasan saya dua: Pertama, saya tidak setuju sehingga tidak suka bahwa manusia kok mengemis. Kedua, kalau ada orang mengemis kepada saya, selalu saya merasa terganggu, bahkan terteror. Sejak beberapa puluh meter sebelum saya berpapasan dengan orang itu, sudah terbersit di hati bahwa saya akan memberinya uang.

Tapi, ketika mendekat lantas dia menadahkan tangan mengemis kepada saya, terus terang saya langsung drop kehilangan semangat untuk memberi.

Saya ini berniat memberi, jangan dimintai. Kalau memberi karena diminta apa hebatnya, tapi kalau tidak diminta kita tetap memberi: itu baru nikmat.

Tak ada hak saya untuk tidak suka kepada pengemis atau kepada siapa dan apa pun saja, karena mereka semua ciptaan Tuhan --mana berani saya tak menyukai karya Allah. Dalam menjalankan kehidupan ini, untuk perjalanan pribadi, keluarga, grup, kelompok, komunitas, dan apa pun yang terkait dengan pribadi saya, sungguh-sungguh tidak boleh ada pengemisan, proposal, iklan, promosi, menawarkan diri, mengajukan diri, mencalonkan diri, atau apa pun saja yang ada frekuensi kepengemisannya.
Tuhan menghijrahkan saya diangkut oleh kelompok musik Kiai Kanjeng ke lebih dari 30 kota besar dunia tanpa didahului melamar, memamerkan diri, "Ini kami, hebat lho...!", proposal, atau apapun, juga tanpa sponsor. Yang berlangsung hanya empati nilai, perhubungan kemanusiaan, kemesraan persaudaraan, persambungan ilmu, penyatuan cinta. Adapun uang, fasilitas, dan maintenance setiap perjalanan hijrah hanya sertaan otomatik dari gairah kasih sayang kehidupan.

Kita hidup karena disuruh hidup oleh Yang Berhak (Haqq). Saya berjalan karena diperkenankan berjalan oleh yang layak logis legal untuk memperkenankan saya berjalan. Nikah, hamil, beranak-pinak karena penyatuan cinta, bukan melamar dan dilamar. Saya tidak sanggup merencanakan dan melamarkan apa-apa atas kehidupan. Tidak ada karier, tidak ada masa depan, yang ada hanya perkenan: kalau di depan hidung disodorkan sawah, kita mencangkul, mempelajari tanah, sawah, tanaman, cuaca, musim.

Tak ada permusuhan, yang ada hanya kasih sayang yang melahirkan perkenan. Yang berkenan adalah yang memiliki Haqq untuk memperkenankan. Masuk lumpur Sidoarjo tidak karena membela rakyat atau siapa pun, tapi karena didatangi mandat tertulis hitam atas putih legal formal, dan melangkah hanya sebatas koridor pemandatan -- persis sebagaimana hidup ini sendiri. Kalau telah tiba kaki di batas maut, kematian sungguh tak pernah menunggu dilamar, sehingga kehidupan pun berlangsung tidak karena dilamar.
 cak nun.

Mungkin karena itu, saya tidak punya keberanian memaknai kata "doa" sebagai permohonan, permintaan, mengemis kepada Allah, meskipun Allah sangat mendengarkan orang yang memohon kepada-Nya. Saya mengambil dimensi lain dari kata "doa". Da'a dan yad'u itu memanggil, du'a atau da'wah itu panggilan. Da'wah bermekanisme horizontal: menganjurkan, menyarankan, mengingatkan. Du'a atau doa itu vertikal.
Tentu saja bukan posisi kita untuk memanggil Allah. Yang agak mendekati tepat adalah menyeru, menyapa.... Berdoa adalah menyapa Allah. Kita sapa Dia karena Dia tahu persis apa yang kita perlukan dari-Nya. "Menyapa" itu statusnya "memberi", maka lebih potensial untuk dibalas pemberian oleh Allah. Sedangkan "memohon" itu, ya, "minta", potensi untuk diberi lebih kecil dibandingkan dengan menyapa. Sebagaimana kalau thawaf saya beraninya menjauh-jauh dari Ka'bah, karena tahu diri ini kotor tak terkira. Kalau lancang mendekat-dekat, saya takut Allah memelototiku sebagai manusia tak tahu diri, GR, merasa bersih, merasa pantas dekat-dekat ke rumah-Nya.

Maka, tak ada nabi yang pernah punya statemen bahwa dirinya baik.

Adam AS menyebut dirinya zalim, juga Yunus. Muhammad SAW menangis dalam sujudnya tiap malam meskipun secara objektif ia hampir tak berdosa, tak memberi hak sedikit pun dalam hidupnya kepada kerakusan, kesombongan, hedonisme, bahkan kepada kekayaan. Allah menyediakan baginya gunung emas dan jabatan Nabi yang Raja, mulkan- Nabiyya, tapi ia memilih menjadi 'abdan-Nabiyya: Nabi yang Jelata.
Muhammad memilih kemiskinan, meskipun menolak kefakiran. Nabi Khidlir hadir kepadamu dengan suatu jenis performance yang kau benci, kau usir, kau tolak tadahan tangannya. Gus Rur Tjurahmalang di masa lalu dalam setahun berbulan-bulan pergi menyusur jalanan berpakaian pengemis. Allah menyatakan kalimat yang tak perlu ditafsirkan: "Yang kau buang-buang itu bisa jadi baik bagimu, yang kau junjung-junjung itu bisa jadi mencelakakanmu."

Tentu saja Muhammad atau Gus Rur berbeda dengan sindikat pengemis dengan jaringan organisasi luas yang mengerahkan pasukan-pasukan taipan ke tepian dan perempatan-perempatan jalan. Berbeda dengan orang-orang dusun yang punya sawah tapi mencari tambahan penghasilan dengan mengemis. Berbeda dengan berbagai macam jenis dan latar belakang sosiologis kaum pengemis yang pada suatu hari melahirkan aturan yang melarang mereka mengemis dan melarang orang memberinya sesuatu.

"Jangan kasih duit itu pengemis. Tidak mendidik!" kata Fulan.
"Saya ndak bisa mendidik, bisanya ngasih," kata Polan, "Daripada ngasih enggak, mendidik juga enggak...."
cak nun.

Related Posts:

Mencekik Orang Sesat


cak nun.DALAM wacana sejarah umat manusia, yang saya tahu hanya ada satu orang yang melakukan tindakan kriminal, bahkan pembunuhan, yang tanpa kausalitas sosial dan tidak dalam situasi peperangan-namun dilegitimasi sebagai kebenaran,bahkan oleh Tuhan.Ialah Nabi Khidhir, salam Allah untuknya.Pernah bersama Kiai Kanjeng saya ngrasain duduk di tempat Nabi Musa duduk uzlah bertapa, puncak Gunung Tursina atau Jabal Musa,8 jam perjalanan dari Gereja Catherine, naik dua kali separuh lingkaran gunung, baru tancap ke puncak pengembaraan murid Khidhir itu.Tak ada alinea untuk mengisahkan dahsyatnya gunung itu serta peristiwa amat monumental yang pernah dikandungnya antara Musa dengan Allah sendiri.Tetapi intinya, di puncak gunung itu, sesudah Musa dipingsankan oleh Tuhan gara-gara tak sanggup memandang wajah- Nya, ia diperintah turun gunung kemudian jalan kaki sejauh sekitar 1.300 km agar berjumpa dengan Kanjeng Khidhir, calon profesornya.Panjang cerita tentang sok pintarnya Musa ini. Maka ia pun harus di-plonco oleh Pendekar Segala Pendekar. 

Dan begitu Musa sowan kepada beliau yang wajahnya ditabiri kerudung itu, Musa dipersyarati "Silakan ikut aku, tapi jangan bertanya apa-apa!" Semua orang Islam tahu kejadian- kejadian antara mereka berdua.Khidhir membocorkan kapal yang mereka naiki, kemudian mencekik anak kecil, terakhir menegakkan pagar rumah seseorang.Ketiga-tiganya Musa tidak lulus. Musa bertanya terus: kenapa kapal dibocorkan, kok anak itu beliau bunuh, wong nggak disuruh dan nggak dibayar kok mau-maunya memperbaiki pagar itu. Tentulah bukan karena Musa murid yang jelek. Beliau bertanya karena begitulah naluri beliau sebagai pejuang kebenaran, sebagai aktivis heroik, sebagai penegak HAM, dan pasti juga karena memang demikianlah kewajiban seorang Rasul.Seandainya tiga tindak kriminal Khidhir itu terjadi di wilayah NKRI,pasti beliau sudah ditangkap oleh petugas kepolisian. 

Minimal menjadi buron, terutama karena membunuh anak kecil. Menariknya, karena atas kasus Khidhir, "Komisi Orang Hilang" beserta seluruh LSM, insya Allah kompak dengan pihak pemerintah.Saya tidak memperoleh data apakah anak kecil itu bernama Munir atau bukan. Kalau benar Munir, pasti complicated karena Khidhir jelas bukan bagian dari kekuasaan, wilayah polisi modal, atau jaringan intelijen Kerajaan Fir'aun. Tapi pasti pembunuhan Khidhir atas anak kecil itu sangat ramai menghiasi media massa. Pasal utamanya karena pihak yang terbunuh itu bukan bagian dari golongan Islam.Kalau ada seribu orang Islam dibunuh,itu bukan berita, dibanding satu orang bukan Islam dibunuh. Lebih berita lagi kalau orang Islam yang membunuh. Seperti ada perjanjian dan logika tak tertulis bahwa kalau pihak Islam membunuh, itu pelanggaran HAM.Sebaliknya kalau pihak Islam dibunuh, bukan pelanggaran HAM.Masalahnya, di zaman Khidhir ini kata Islam belum populer,belum menjadi ikon negatif seperti sekarang, serta belum menjadi kambing hitam dari berbagai kesalahan berat pelanggaran HAM, pembangunan senjata pemusnah massal, lambang ketertinggalan, kebodohan, kemiskinan,dan kekumuhan.Secara yuridis, mudah menjaring Baginda Khidhir karena bukan bagian dari struktur kekuasaan Fir'aun.
cak nun.


 Secara politik juga gampang mebulan-bulani Khidhir karena ia bukan bagian dari kemuliaan Amerika Serikat yang berjuang keras menyelamatkan umat manusia di seluruh permukaan bumi.Secara militer dan intelijen juga tidak ada kesulitan memperdayai Khidhir karena ia single fighter, tidak punya umat 30 juta, tidak didukung oleh Pasukan Berani Mati,juga karena wilayah subversinya sangat jelas dan mudah ditengarai, yakni sekitar pantaipantai dan seputar Laut Tengah, terutama Majma'al Bahrain: pertemuan dua arus laut.Sesungguhnya banyak sekali kandungan filosofi, sumber hikmah dan cakrawala wacana yang bisa diungkap dari adegan-adegan singkat Khidhir ini.Tetapi dalam tulisan ini hanya saya fokuskan pada posisi politis, sosial, dan kosmologis Khidhir-yang sedemikian rupa sehingga beliau tidak bisa disentuh oleh militer, kepolisian, hukum, pengadilan HAM,kekuasaan negara-negara atau kerajaan apa pun.

Bahkan tidak bisa dijaring atau dipersalahkan oleh ilmu dan wacana peradaban apa pun dalam kehidupan umat manusia. Khidhir menjelaskan kepada Musa bahwa dengan rusaknya kapal itu, penumpangnya terlindung dari rencana perampokan para bajak laut yang sebenarnya sebentar lagi akan terjadi.Anak kecil itu ia bunuh karena kelak ketika ia besar akan menjadi kafir kriminal, sehingga bapak dan ibunya akan kalah dan ikut menjadi kafir kriminal.Dengan dibunuh,anak itu akan masuk surga, dan bapak-ibunya juga batal menjadi kafir kriminal. Pagar ia tegakkan untuk menghindarkan kecurigaan para kapitalis yang beriktikad merebutnya karena di bawah pagar itu terdapat simpanan harta luar biasa besar melimpah dari masa silam.

Pengetahuan futurologi Khidhir, tindakan radikalnya, segala jenis kriminalitasnya, serta kesaktian pribadinya yang tak terlawan bahkan oleh Nabi Besar Musa AS adalah bukan wacana sosial horizontal, melainkan sirrullah wa biidznillah, berada dalam lingkup rahasia dan perkenan Allah. Negara, hukum, moral, peradaban dan segala sistem sosial manusia tidak memiliki daya sentuh atasnya.Akses manusia biasa seperti kita, termasuk seluruh pelaku sejarah peradaban umat manusia, hanya satu: believe it or not, take it or leave it. Maka nabi dengan nubuwwah, rasul dengan risalah, bahkan mungkin waliyullah dengan walayah: tidak punya tempat untuk hidup di alam sistem peradaban modern,tidak punya alamat di skala berpikir modernisme, tidak terdapat di sebelah manapun dari peta ilmu dan wacana modernitas.Dunia modern dan sistem nilai negara-negara modern sangat sempit, tak akan sanggup memuat keleluasaan cakrawala hakikat hidup yang sesungguhnya. Bagi mata pandang negara dan manusia modern, Khidhir itu sesat. 

Pelaku demokrasi dan pluralisme pun merasa tidak aman olehnya.Ya, kalau Khidhir cuma kasih taushiah dan melakukan pembaiatan.Kalau lantas ia mulai merusak-rusak kapal, pesawat, gedung-gedung, dan melakukan pencekikan dan pembunuhan: Amerika Serikat kampiun demokrasi pun akan mengerahkan FBI dan CIA-nya. Kalau Khidhir melakukan tiga kriminalitas itu di wilayah kelautan dan darat NKRI, pasti ditangkap. Dan kalau benar ia Khidhir, maka sepuluh ribu tentara, polisi, dan intelijen tak akan sanggup menangkapnya.Apalagi sampai menyentuh kulitnya, mencekik lehernya dan memasukkannya ke sel tahanan atau penjara.
cak nun.

Related Posts:

amazon