*NGGEDEIN HATI RAKYAT*


Muhammad Ainun Nadjib
_(Ke 2 dari 10 tulisan)_


Kenapa yang menang harus Bangsa Indonesia?

Beberapa abad yang lalu kita hidup berserak-serak di kepulauan Nusantara. Kita adalah gerombolan-gerombolan yang berjarak satu sama lain, secara teritorial maupun budaya. Kita bersuku-suku, berkubu-kubu, berkoloni-koloni. Nenek moyang kita hidup menjadi bagian dari Kraton-kraton, Perdikan-perdikan, komunitas-komunitas. Kemudian datang musuh dari Barat “mempersatukan” kita sampai menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

VOC dan Kerajaan Belanda “berjasa” mempersatukan kita. 3,5 abad tamu tak diundang dari Eropa itu “mendidik” kita untuk menyadari betapa pentingnya bersatu. Persatuan dan Kesatuan yang lahir ruhnya pada 1928 dan lahir jasadnya pada 1945 itu, kemudian menjalani kegembiraan dan ujian dari era ke era, dari pemerintahan ke pemerintahan. Dan tatkala hari ini kita melewati tahun ke-71, tiba-tiba muncul kecemasan tentang langgengnya persatuan dan kesatuan itu, serta ganjalan di pikiran tentang semakin luntur dan nadirnya kedaulatan bernegara dan berbangsa kita.

Sekian kali berkumpulnya rakyat di Jakarta dan beberapa wilayah lainnya, dengan bendera dan bunyi teriakan apapun, pada hakekatnya mencerminkan bahwa kita semua masih belum berhasil ber-Negara dan mengalami sejumlah degradasi nilai yang mendasar dalam ber-Bangsa. Yang tampak di permukaan boleh kemarahan, permusuhan atau tuntutan-tuntutan, tetapi pasti itu semua mencerminkan bahwa rakyat Indonesia semakin merasa tidak aman. Tidak aman dengan harta tanah airnya, tidak aman eksistensinya, tidak aman tiang hak-haknya, tidak aman martabatnya, tidak aman masa kini dan masa depannya.

Saya yakin bahwa Pemerintah, wakil-wakil rakyat, pasukan-pasukan Pagar Negara, tokoh-tokoh Bangsa, pimpinan Parpol dan Ormas, kaum cerdik pandai, pemuka Agama-agama, serta semua yang berdiri di panggung nasional, hari ini sangat diperlukan untuk mengemukakan kepada rakyat Indonesia bahwa kedaulatan NKRI tidak terancam dan masa depan rakyat tidak buram.

Perlu menjelaskan dengan bahasa rakyat bahwa Tanah Air ini tidak sedang digerogoti oleh siapapun. Tidak sedang dijaring secara strategis untuk direbut dan dijadikan bukan milik Bangsa Indonesia lagi. Tidak sedang dijajah, terserah dengan penjajahan model yang tradisional atau yang supra-modern. Tidak dirongrong, direkayasa, ditaklukkan, bahkan mungkin dimusnahkan pada beberapa hal.

Yang lebih urgen lagi adalah beliau-beliau para pemuka Bangsa, juga institusi pemerintahan di lini yang manapun, termasuk lembaga-lembaga sosial dan keagamaan, membuktikan kepada rakyat bahwa mereka bukan bagian dari perongrongan itu. Bukan petugas dari program penjajahan itu. Tidak dibeli untuk mengeksekusi penghancuran itu. Tidak sedang berbuat selingkuh terhadap nasionalisme. Tidak menyembah dan mematuhi pemilik dan penyedia modal.

Jika hal itu tidak segera dilakukan, maka akan sempurna proses yang mengembalikan Bangsa Indonesia menjadi bersuku-suku dan berkubu-kubu. Baik suku dan kubu berdasarkan kepentingan politik pragmatis. Atau berdasarkan persaingan akses terhadap pusat-pusat modal. Berdasarkan perbedaan identitas dan pendapat. Berdasarkan khilafiyah, tafsir dan jenis egosentrisme yang lain. Bahkan sudah semakin nyata di depan mata betapa kondisi pecah belah itu sampai mendetail hingga ke sub-suku sub-kubu bahkan sub-sub-sub.

Kita tidak bisa terus menerus menyebarkan pandangan bahwa perang suku hanya terjadi di sebuah pulau di sana, karena di Jakarta, Pulau Jawa dan wilayah-wilayah lain, setiap hari berlangsung perang suku dan perang kubu, yang variabelnya sangat kompleks, detail kepingan-kepingannya yang menyakitkan mata, hati dan pikiran. Dan kapasitas berpikir Bangsa Indonesia, termasuk kaum terpelajarnya, semakin tidak mencukupi untuk sanggup menampung, mewadahi, mengurai, mengidentifikasi, mempetakan dan menganalisisnya. Terlebih lagi untuk kemudian melahirkan formula-formula solusinya.

Presiden dengan seluruh perangkat kepemerintahannya harus mengagendakan upaya perampingan rumusan atas komplikasi permasalahan dahsyat yang sedang sangat diduka-deritai oleh rakyat. Bertahun-tahun saya berkeliling ke pelosok-pelosok, dalam seminggu rata-rata saya bertemu dengan sekitar 50.000 orang yang berkumpul di alun-alun, lapangan, jalanan atau sawah. Mereka sangat sedih dan kesepian. Hati mereka menanggung beban yang pikiran mereka tak sanggup mengurainya. Pikiran mereka tersandung-sandung, terbentur-bentur dan buntu. Saya tidak mampu membantu bangsa ini kecuali sebatas membesarkan hati mereka, mencarikan lubang-lubang dari dimensi kehidupan yang luas ini untuk bergembira. Kemudian entah bagaimana membuat mereka optimis ke masa depan.

Tulisan ini harus sangat panjang untuk mengakomodasi seluruh konteks yang dimaksudkannya. Tapi karena keterbatasan ruangan, saya shortcut saja ke satu tema yang tidak populer. Yakni prinsip “Manunggaling Kawula Gusti”. Manunggal itu bersatu, menyatu, menjadi seakan satu. Kawula itu rakyat. Gusti itu Tuhan. Di dalam jiwa Presiden dan Pemerintah, rakyat menyatu dengan Tuhan. Kalau Tuhan diingkari, rakyat menderita dan bisa marah. Kalau rakyat disakiti, Tuhan marah dan bertindak.

Rakyat Indonesia sangat _ndemenakke:_ patuh, tertib, ikhlas, sangat sabar dan amat sedikit menuntut. Itu membuat mereka menjadi kekasih-kekasih Allah. Siapapun jangan menyakiti kekasih Allah. Kita semua punya anak cucu dan tidak tahu bagaimana besok pagi.*****


Source : Caknun.com / Forum komunikasi Maiyahan.
https://caknun.com/2016/nggedein-hati-rakyat/

Related Posts:

YANG MENANG HARUS BANGSA INDONESIA



Muhammad Ainun Nadjib
(Tulisan ke-1 dari 10)

Beberapa bulan terakhir ini bangsa Indonesia seperti sedang suntuk bermain togel: 411, 1911, 212, 412, 1012 dan mungkin akan berlanjut ke situasi yang bukan dramatisasi harmoni angka-angka, malah mungkin benturan antara angka dengan angka.

Mungkin bangsa Indonesia sedang mencari dirinya sendiri. Sedang melacak kembali siapa sebenarnya mereka, dari berbagai view nilai, konteks, titik berat, gravitasi eksistensi dan pemetaan sejarah, cara pandang, sisi pandang, sudut pandang, jarak pandang, bahkan resolusi pandang. Masing-masing kelompok merasa apa yang dilakukannya adalah kebenaran. Masing-masing golongan meyakini bahwa merekalah gravitasi nasionalisme Indonesia, wajah merekalah yang benar-benar Bhinneka Tunggal Ika. Dan sesama massa yang meneriakkan “NKRI harga mati” akan bertabrakan. Yang memekikkan “Allahu Akbar” mengepalkan tinju ke massa di seberang yang juga memekikkan “Allahu Akbar”.

Pada mulanya, setiap pergerakan, setiap peristiwa, unjuk eksistensi, perjuangan dan jihad, berderap dengan tema “benar atau salah” dan atau “baik atau buruk”. Setibanya di jalanan dan lapangan, titik berat tematik bergeser menjadi “kalah atau menang”. Lapangan dan jalanan juga ikut menjelma jadi Padang Kurusetra. Hanya saja Bharata Yudha belum akan berlangsung, karena Arjuna sedang berdebat dengan Prabu Krisna, sais kereta perangnya. Sementara Adipati Karna sudah mantap dan sejak jauh sebelumnya sudah menguasai medan perang, secara teritorial, stok mesiu, gelar dan strategi perang, maupun kelimpahan dapur umumnya.

Sedangkan Panglima Drestajumena masih sibuk menoleh ke kanan ke kiri, ke depan dan ke belakang, merasakan ke mana angin bertiup. Adapun para Punakawan, Semar Gareng Petruk Bagong duduk bersila bercengkerama di gelaran tikar awan di angkasa, bersama Wisanggeni (Wasi’un Ghoniyyun) yang dilarang ikut perang. Terkadang Ontoseno juga muncul dari bawah tanah ikut nimbrung. Terkadang mereka menangis bersama, gero-gero menangisi “Ibu Pertiwi sudah tidak berkenan mengayomi lagi”. Di saat lain mereka tertawa terpingkal-pingkal: “Pemerintah kok merasa Negara. Pedang kok dipakai mencangkul. Keris kok dilecehkan….”. Negara tanpa kaji (presisi), Bangsa kehilangan aji (harga diri), Satria sirna nyali (keberanian revolusi).

Mudah-mudahan tidak terlalu jauh simbolisme dalam tulisan ini. Saya yakin semua memiliki daya assosiasi, proyeksi dan identifikasi dari perumpamaan-perumpamaan ini ke peta fakta kenegaraan dan kebangsaan yang sedang sangat nyata mengepung kita.

411, 1911, 212, 412, 1012 dan berikut-berikutnya adalah saling-silang atau silang sengkarut bias dan dispresisi. Di arena yang sangat gaduh itu terdengar suara-suara berseliweran tantang menantang, kutuk mengutuk yang disamarkan, serta kebencian dan permusuhan yang dieufemisasikan. Kata-kata kebenaran dan kepahlawanan diteriakkan oleh semua dan masing-masing. Semua berkata sama, tetapi produknya bukan “benere bebarengan” (benarnya bareng-bareng, benarnya semua orang, kebenaran kolektif koordinatif), melainkan “benere dhewe” (benarnya sendiri-sendiri), sehingga semua pihak terdesak mundur ke belakang, menjauh dari “bener sing sejati” (benar yang sejati): misalnya “yang menang harus Bangsa Indonesia”.

Ada yang sangat meyakini “benar atau salah” dan “baik atau buruk” tanpa sadar bahwa langkahnya adalah “kalah atau menang”. Yang sadar bahwa gerakannya adalah “kalah atau menang”, tidak lengkap juga pemahamannya pada momentum-momentum dan konteks mikro atau makronya: tidak punya presisai apakah ia sedang menang atau kalah, sedang mulia ataukah hina, seharusnya malu ataukah bangga, semestinya rendah hati ataukah jumawa. Masing-masing nggembol potensi dan kadar “mbegugug ngutowaton”( pokoknya saya yang pasti benar) serta “adigang adigung adiguna” (menerjang, menaklukkan, menguasai).

Secara sederhana bangsa Indonesia, sebagai warganegara, sebagai rakyat maupun sebagai manusia, sedang diaduk-aduk oleh lipatan-lipatan masalah, krusialitas dan khaos nilai, tikungan dan telikungan pemaknaan atas segala sesuatu yang berlangsung. Tidak mengerti beda antara hemat dengan pelit. Antara konsisten dengan tidak move-on. Antara istiqamah dengan kepala batu. Antara kebenaran Quran dengan relativitas tafsirnya. Antara ramah tamah dengan taktik penipuan. Antara sopan santun dengan penjebakan. Antara blusukan dengan penaklukan. Antara Malaikat dengan Iblis. Karena Malaikat tidak punya keperluan untuk menyamar jadi Iblis. Sedangkan Iblis sangat tekun mempelajari teknik perilaku, strategi komunikasi, hingga performa dan pencitraan, yang tujuannya membuat manusia menyangka ia adalah Malaikat.

Bahkan para pemimpin ketika berkata dan berbuat, tidak recheck apakah yang diekspresikannya itu nasionalisme Indonesia, ataukah garis tugas korpsnya, kepentingan golongannya, kenyamanan jalan kariernya, ataukah nafsu pribadinya. Yang paling bencana adalah kalau ada pemimpin yang “tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa ia tidak mengerti”, karena ia hanya digerakkan oleh Siluman yang sangat mengerti, dan mengerti bahwa mereka mengerti. Padahal harapan rakyat minimal ada pemimpin yang “tidak mengerti tapi mengerti bahwa ia tidak mengerti”. Atau mending “yang mengerti tapi tidak mengerti bahwa ia mengerti”. Syukur yang “mengerti dan mengerti bahwa ia mengerti”. *****

https://caknun.com/2016/yang-menang-harus-bangsa-indonesia/

Related Posts:

amazon