Dasar Teori Tentang Majnun

cak nun.Memang bukan Saridin namanya kalau tidak gila. Dan bukan gilanya Saridin kalau definisinya sama dengan definisi Anda tentang gila. Wong sama saya saja Saridin sering bertengkar soal mana yang gila dan mana yang tidak kok. Padahal saya juga agak gila. Apalagi sama Anda. Anda kan jelas-jelas waras.

Misalnya di jaman Demak bagian akhir-akhir itu saya menyatakan bersyukur bahwa dakwah para Wali semakin produktif. Sunan Ampel yang berfungsi sebagai semacam Ketua MPR, Sunan Kudus sebagai Menko Kesra, Sunan Bonang sebagai Pangab, atau Sunan Kalijaga sebagai Mendikbud, benar-benar menjalankan suatu managemen sejarah dan strategi sosialisasi nilai dengan metoda-metoda yang canggih dan efektif.

Bukan hanya komunitas-komunitas Islam semakin menyebar dan meluas, tapi juga mutu kedalaman orang beribadah semakin menggembirakan. Tapi Saridin menertawakan saya. Dan bagi saya sangat menyakitkan karena tertawanya dilambari aji-aji kedigdayaan batin: begitu suara tertawanya lolos dari terowongan tenggorokan Saridin, pepohonan bergetar-getar, burung-burung beterbangan menjauh, awan-awan dan mega melarikan diri sehingga matahari gemetar tertinggal sendirian di langit.

"Jangan sok kamu Din!" saya berteriak.
Saridin menghentikan tertawanya. Ia menjawab. "Bersyukur ya bersyukur, tapi kalau saya, juga berprihatin."
"Kenapa?" tanya saya.
"Diantara orang-orang yang beribadah kepada Tuhan itu banyak yang majnun!"
"Gila?"
"Ya, Majnun itu artinya ya gila, Majnun!"
"Majnun gimana?"
"Pengertian kita tentang junun atau kegilaan kayaknya berbeda. Bagi saya gitu itu gila, tapi bagi kamu tidak.""Gitu itu gimana yang kamu maksud?"

"Orang berdiri khusyuk dan bersedekap. Matanya konsentrasi ke kiblat. Mulutnya mengucapkan hanya kepada-Mu aku menyembah, dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan....", tiba-tiba tertawanya meledak lagi, sehingga tanah yang saya pijak terguncang, padahal tidak demikian. "Orang itu tidak hanya kepada Tuhan menyembah. Wong jelas tiap hari dia menyembah para priyayi, para priyagung, para Tumenggung atau Adipati. Minta tolongnya juga kebanyakan tidak kepada Tuhan. Ia lebih banyak tergantung pada atasannya dibanding kepada Tuhan. Meskipun dia tidak menyatakan, tapi terbukti jelas dalam perilaku dia bahwa yang nomor satu bagi hidupnya bukan Tuhan, melainkan penguasa-penguasa lokal dalam hidupnya. Entah penguasa politik, atau penguasa ekonomi. Itu namanya majnun. Tuhan kok dibohongi. Dan caranya membohongi Tuhan dengan kekhusyukan lagi! Kalau otaknya sehat, hal begitu tidak terjadi. Hanya otak gila saja yang memungkinkan hal itu terjadi....."
cak nun. 

Saya melengos. "Ah, kamu ini terlalu idealis. Normal dong kalau manusia punya kelemahan yang demikian. Mana ada manusia yang sempurna. Orang kan boleh berproses. Orang berhak belajar secara bertahap. Pengabdiannya kepada Tuhan diolah dari belum utuh menjadi utuh pada akhirnya. Konsistensi seseorang atas kata-kata yang diucapkannya kan bertahap, tidak bisa langsung seratus persen!"


Kesal betul saya.

Tiba-tiba tertawanya meletus lagi, sehingga saya terjengkang lima depan kebelakang. "Lho, ini masalah simpel. Kalau bilang jagung ya jagung, kalau kedelai ya kedelai. Kalau ya itu ya ya. Kalau tidak itu ya tidak. Gampang saja kan? Kalau seorang Imam terlanjur mengungkapkan statemen kepada Tuhan 'hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan' - maka ia harus bertanggung jawab atas kata kami disitu. Artinya, pertama, ia terlanjur berjanji kepada Tuhan. Kedua, ia harus bertanggung jawab kolektif atas seluruh persoalan jamaahnya. Tidak hanya imam dan takwanya, tapi juga segala masalah kesehariannya, sampai soal nasi dan problem-problem sosialnya....."Sekarang giliran saya yang tertawa. Saya mendatangi Saridin dan berbisik di telinganya: "Din, jangan terlalu serius dong. Dialognya yang santai saja!"

"Lho!", Saridin terhenyak, "Justru karena ini untuk [buku] humor, maka saya pilihkan tema-tema lawakan. Gimana sih Ente ini. Yang saya omongkan ini kan orang-orang yang melawak kepada Tuhan. Orang-orang yang menyatakan sesuatu tapi tidak sungguh-sungguh. Orang-orang yang ndagel di hadapan Tuhan, karena mungkin dipikirnya Tuhan itu butuh dagelan dan disangkanya para Malaikat bisa tertawa!"

Saya jadi agak takut-takut. "Din, Saridin, kamu jangan begitu ah. Jangan omong yang enggak-enggak. Kalau sama Tuhan yang serius dong!"
"Justru saya sangat serius kepada Tuhan, sehingga saya ceritakan mengenai orang-orang yang melawak dihadapan-Nya!"
"Orang beribadah kok melawak!" saya membantah lagi.
"Lho, gimana sih, " ia menjawab "Orang tiap hari bersembahyang dan mengajukan permintaan kepada Tuhan - 'Ya Allah anugerahilah aku jalan yang lurus!' Dan Tuhan sudah selalu menganugerahkan apa yang orang minta. Orang itu tidak pernah memakainya, tapi tiap hari ia memintanya lagi dan lagi kepada Tuhan. Kalau saya jadi Tuhan, pasti kesel dong...."

"Husysysy!!!" saya membentak.
"Husysy bagaimana!"
"Emangnya kamu Tuhan?"
"Siapa bilang saya Tuhan? Majnun kamu!"
"Emangnya Tuhan bisa kesel?"
"Maha Suci Allah dari kekesalan. Tapi apakah karena Tuhan mustahil kesal maka menjadi alasan hamba-hamba-Nya untuk berbuat semaunya, untuk mendustai Dia, untuk berbuat gila?"
"Wong gitu saja kok gila tho Din!""Lho! Orang sudah disuguhi kopi, tidak diminum, lha kok minta kopi lagi, saya suguhi kopi lagi, lagi, lagi, lagi sampai meja penuh sesak oleh gelas-gelas kopi, tapilantas tidak diminum lagi, tapi dia minta lagi dan minta lagi. Gila namanya kan?"
"Ah ya bukan gila. Itu paling-paling munafik namanya."
"Ya gila dong. Majnun. Orang yang punya logika, tapi berlaku tidak logis, itu penyakit junun namanya. Orang yang tak menggunakan pengertian mengenai konteks, proporsi dan lokasi-lokasi persoalan, itu virus junun yang menyebabkannya. Orang bilang keadilan sosial, tapi kerjanya tiap hari menata ketimpangan, itu majnun. Orang bilang semua perjuangan ini untuk rakyat, padahal prakteknya tidak - itu namanya virus junun, lebih parah dari HIV...."
Akhirnya saya kesal. Saya tinggalkan si Majnun ini!?
cak nun.

Related Posts:

Hukum Malaikat Buntung, Hukum Iblis Beruntung


cak nun.Seandainya dalam institusi negara kita pemerintah dan rakyat sudah sama-sama sanggup melaksanakan ketaatan yang maksimal terhadap hukum, Anda masih boleh tertawa-tawa geli menyaksikan sejumlah kepahitan di belakangnya.

Pertama, orang yang merasa nyaman dengan maksimalitas pelaksanaan hukum itu adalah mereka yang merupakan bagian dari "masyarakat" hukum. Masyarakat hukum adalah penghuni elite dari peradaban �modern�, tepatnya masyarakat yang merasa dan amat meyakini bahwa dirinya modern dan hidup di zaman yang �terbaik�, yakni �modern�.

Iseng-iseng saya pernah menemani 18 penduduk asli Pulau Waikiki, Hawai, melakukan demo ke kantor gubernuran di negara bagian (Amerika Serikat) Hawai. Mereka menuntut pengembalian Pulau Waikiki itu dari kepemilikan negara Serikat Amerika kepada mereka.

Sejak ribuan tahun silam nenek moyang mereka bertempat tinggal dan �memiliki� pulau itu berdasarkan hukum mereka. Sekurang-kurangnya bertempat tinggal (�jam terbang�) ribuan tahun di suatu hamparan tanah secara filosofis hukum bisa dijadikan landasan untuk memungkinkan copyright mereka atas tanah itu.

Tetapi, tuntutan mereka sangat menggelikan bagi akal sehat manusia modern, sangat bodoh secara kebudayaan modern, dan sangat melawan �hukum� yang sudah diberlakukan atas tanah itu, yakni �hukum� negara serikat Amerika.

Jadi mana yang benar?
Yang mana kebenaran sejati?

Apakah benarnya �hukum� modern itu benar sejati?
Penduduk asli Hawai itu bisa paralel dengan semua suku di Irian Jaya, teman-teman Dayak di hutan-hutan Kalimantan, atau kelompok masyarakat mana pun yang hidup di dunia beralamatkan di RW �Sejarah� RT �Adat�. Sementara pada suatu pagi mereka bangun tidur thilang-thileng mencari "Di mana tadi sejarah saya? Adat saya". Kok tiba-tiba di luar pintu itu ada orang-orang berseragam hendak mengursusnya tentang apa yang disebut "sejarah" baru, "adat" baru, dan "hukum" baru.
cak nun.



Dalam konteks itu hukum modern adalah Dajjal bermata satu, bertangan satu, bertelinga satu, berhati sebelah dan berakal terbelah (growak) di tengah-tengah. Ribuan tahun orang Jawa menciptakan peradaban tempe dan pada suatu siang tiba-tiba saja tempe adalah milik orang Jepang, berkat hukum modern. Setengah mati orang Jogja, Solo, dan Pekalongan membanggakan budaya dan karya batik, sampai mendadak mereka hampir stroke mendengar bahwa batik adalah hak patennya Malaysia.

Sebuah pabrik kecap puluhan tahun sukses dan digemari konsumen, suatu hari pimpinannya diseret ke pengadilan dan dipenjarakan, dituntut oleh salah seorang karyawan yang membelot, membuat pabrik sendiri, mendaftarkannya ke lembaga hak cipta- sementara pabrik aslinya tidak pernah mendaftarkan.

Insya Allah suatu hari nanti saya akan kehilangan nama karena ada teman yang mendaftarkan Emha Ainun Nadjib sebagai hak cipta dia. Yang kasihan adalah Nabi Muhammad, telanjur tidak sempat sowan mendaftarkan namanya, sehingga tunggu saatnya beliau tak lagi diakui sebagai pemilik nama Muhammad. Yang repot kita orang Islam, setiap membaca syahadat musti kasih royalti kepada pemegang hak cipta nama Muhammad. Bayangkan, berapa duit harus kita siapkan untuk salat wajib lima kali sehari saja. Belum lagi ditambah wirid dan shalawat.

Anda jangan lantas tidak salat demi menghindari kewajiban memberi royalti. Insya Allah Tuhan juga mafhum atas kekurangan Anda. Sebab, Tuhan sendiri juga berposisi sama dengan Muhammad dan Anda. Entah kapan Tuhan akan bertamu ke kantor lembaga hak cipta untuk mendaftarkan paten nama Allah, Yehova, Sang Hyang Wenang, dsb. Tentu butuh sangat banyak biaya. Andaikan Muhammad tidak telanjur menjadi nabi terakhir, mungkin diperlukan wahyu baru yang menganjurkan agar umat Islam ketika menyebut Allah dan Muhammad cukup dalam hati, demi menghindari pemborosan royalti hak cipta.

Yang paling selamat adalah manusia yang celat atau pelat lidahnya, yang menyebut Allah dengan Awwoh dan Muhammad dengan Mamad. Itu pun kalau Awwoh dan Mamad belum didaftarkan ke lembaga hak cipta.

Ini sekadar iftitah, pembuka dari pembicaraan yang sangat mungkin bisa panjang tentang kelucuan hukum. Anda pasti sangat cerdas memahami judul tulisan ini, sesudah ala kadarnya membaca preambul ini.

Omong nasi musti omong beras, padi, tanah, daun, tanaman, angin, air, matahari, musim, Tuhan dan terus terus teruuus sampai tak mungkin Anda menghindar dari satu kata apa pun tatkala membicarakan satu kata yang lain. Hukum, fikih, moral, akhlaq, takwa, mahabbah�. Teruuus sampai SBY-JK turun belum akan selesai kita sebut kata demi kata, demi menguraikan sekadar satu kata.

Belum lagi kalau saya pancing dengan kalimat bahwa saya termasuk orang yang tidak peduli hukum. Ada hukum atau tidak, saya tidak akan menyakiti manusia. Ada KUHP atau tidak, saya tidak akan maling. Ada jaksa, hakim, atau tidak, saya tidak akan mencekik anak tetangga. Ada polisi, pengacara atau tidak, saya tidak akan memerkosa wanita maupun kambing betina dan apa siapa saja.
cak nun.

Related Posts:

Nyicil Simpati Pada Setan


cak nun. TULISAN ini saya bikin dengan mencuri waktu di sela-sela forum,menyelinap beberapa momentum untuk bisa menulis. Kerja saya seperti setan: berupaya pandai menggali peluang untuk memasukkan partikel energi dan nilainya ke pori-pori kejiwaan manusia.

Untuk manusia di zaman ini, hal yang dilakukan setan semacam itu bukan pekerjaan sulit karena manusia sudah hampir tidak memiliki pertahanan apa pun terhadap penetrasi setan. Juga karena manusia sudah semakin tidak mengenali dirinya sendiri, apalagi mengenali setan sehingga tidak pernah secara sadar atau instingtif mengetahui apakah ia sedang dipengaruhi oleh setan, apakah sedang berjalan didorong dan dimotivasi oleh setan, apakah ia sedang menyelenggarakan sesuatu yang pengambil keputusan sebenarnya adalah setan di dalam dirinya? ***

Tentu saja setan tidak bisa kita pandang dengan terminologi materi atau jasadiyah.Ia lebih merupakan energi atau gelombang. Sedemikian rupa manusia harus mempelajari dirinya sendiri: dari wujud materiilnya, psiche-nya, roh atau rohaninya. Kita sedang meyakini bahwa kita adalah manusia, adalah makhluk sosial, adalah warga negara Indonesia, adalah bagian dari masyarakat dunia, adalah kaum profesional, adalah ulama, anggota parlemen,pejabat,aktivis LSM,golongan intelektual, atau apa pun.

Tetapi itu semua adalah termin-termin yang sangat materiil, baku, dan elementer. Sesungguhnya kita tidak benar-benar mengenali diri kita pada atau sebagai dimensi-dimensi yang lebih substansial. Kita,pada konteks tertentu, dan itu sangat serius dan merupakan mainstream: mungkin sekali adalah boneka-bonekanya setan. Kita hanya robot yang di-remote control oleh kehendak setan. Kita hanya instrumen dari kemauan-kemauan setan. Anda mungkin menganggap saya main-main retorika.Tidak. Ini sungguh- sungguh. Jangan mengandalkan ilmu pengetahuan baku dari sekolahan dan universitas, sebab penelitianpenelitian di wilayah itu tidak akan sampai pada hipotesis, identifikasi atau invensi tentang Tuhan, malaikat, Iblis, jin, dsb �yang sesungguhnya merupakan wujud nyata seharihari kehidupan kita.

Kita sedang menghabiskan waktu untuk bermain-main menunggu kematian tiba.Mainan kita namanya negara, demokrasi,pemilu,clean governance, pengajian, taushiyah, mau�idhah hasanah, band dan lagu-lagu, tayangan dan sinetron�. Semua itu tidak benar-benar kita pahami bahwa bukanlah kita subjek utamanya. Tentu ini semua harus sangat panjang ditelusuri, dianalisis, dipaparkan, dan disosialisasi.Tulisan ini sekadar membukakan pintu agar manusia mulai mempelajari setan sebagai salah satu metode paling pragmatis dan efektif untuk mengenali dirinya.

cak nun. Sebab hanya dengan benarbenar mengenali dirinya manusia akan bisa berpartisipasi untuk turut menjamin keselamatan dirinya, keluarganya, anak cucunya, lewat negara, sistem sosial atau apa pun. Anda semua sedang menjadi korban tipu daya dari segala sesuatu yang Anda sangka kemajuan, kesejahteraan, pembangunan, segala yang indah-indah di layar televisi, di halaman koran, di kantorkantor pemerintahan dan perusahaan, bahkan di pasar, di panggung, di gardu, dan di mana pun.

Tolong jangan membantah dulu sebelum mempelajari setan, dalam segala wilayah, konteks, dan skala. Pelajari setan untuk individumu, untuk keluargamu, untuk keselamatan anak-anakmu tahuntahun yang akan datang, untuk masyarakat dan bangsamu.Tuhan bilang, �Mereka melakukan tipu daya, dan Aku juga�. Aku kasih waktu sejenak kepada mereka�.� Jatah untuk menyembuhkan diri bagi bangsa kita sudah berlalu.

Ramadan dan Idul Fitri sudah kita lalui tanpa makna apa-apa. Metabolisme zaman sudah tiba di putaran di mana kita memerlukan jangka waktu yang akan jauh lebih lama lagi untuk bisa menyembuhkan dan menyelamatkan kita semua sebagai bangsa. Segala sesuatu sudah kita jalani, kita junjung, tanpa melahirkan paradigma baru apa pun di bidang apa pun. Indonesia sudah �mati�. Tahun 2008�2015 akan semakin terpecah,semakin tertipu daya,semakin lapar dan panas, semakin stres dan depresi karena kita sendiri sudah terbiasa menipu daya diri kita sendiri. ***

Semua sisi kehidupan kita sudah palsu. Setan bilang kepada saya: �Tidak ada tantangan lagi. Manusia bukan tandingan setan sama sekali. Manusia sangat mudah kami kendalikan.Sangat tidak memiliki kepegasan dan ketahanan untuk mempertahankan kemanusiaannya. Sungguh sudah tidak menarik lagi bertugas sebagai setan.� Di dalam kitab suci disebutkan: �Dan ketika dikatakan kepada malaikat: �Bersujudlah kepada Adam,� maka bersujudlah mereka, kecuali Iblis, karena sombong dan lalai�.� Diam-diam dibisikkan kepada saya oleh setan:

�Kami sengaja tidak bersujud kepada Adam, kami minta satu periode zaman saja kepada Tuhan untuk membuktikan argumentasi kenapa kami tidak bersujud kepada Adam.Hari ini saya nyatakan: tidak relevan Iblis bersujud kepada Adam karena anak turun Adam sekarang terbukti sangat beramai-ramai dan kompak menyembah Iblis.� ?cak nun.

Related Posts:

Puasa, Setan, dan Gempa



cak nun.PUASA itu melatih "tidak" karena kehidupan sehari-hari kita adalah melampiaskan "ya". Sekurang-kurangnya mengendalikan "ya". Mental manusia lebih berpihak pada "melampiaskan" dibanding "mengendalikan".

Padahal, keselamatan peradaban, keindahan kebudayaan, tata kelola manajemen, kepengurusan negara dan kemasyarakatan lebih mengacu pada pengendalian daripada pelampiasan.

Bahkan idiom "kemerdekaan" kita selama ini sedemikian tidak terkontrol sehingga identik dengan "pelampiasan". Maka Ramadhan menjadi sangat penting untuk melatih "tidak" itu.

Bukan hanya tak makan tak minum tak banyak omong dan lain sebagainya, tapi juga berbagai macam "tidak" yang lain coba dilatihkan selama bulan Ramadhan. Termasuk "tidak" ribut, riuh rendah, gebyar-gemebyar, melonjak-lonjak, berjoget-joget. Puasa mungkin juga merupakan perjalanan memasuki kesunyian, menghayatinya, merenunginya, kemudian menemukan nikmatnya.

Dunia dan Indonesia sudah selalu ribut, dan begitu memasuki Ramadhan: semakin ribut keadaan. Modal keuangan dan alat perniagaan yang membuat apa saja menjadi komoditas semakin jadi pengeras suara dari keributan itu.
  
Penderitaan diributkan bukan oleh orang-orang yang menderita, tetapi oleh saudagar-saudagar penderitaan yang menjualnya sana sini dengan keributan statement, opini, dan asumsi, sambil menempuh strategi jangan sampai ada solusi. Wakil Presiden ribut terus kapan saja dan tentang apa saja. Jakarta ribut ingin menyulap dirinya menjadi Singapura yang metropolitan.

Bagi yang memasuki Ramadhan dengan mencoba menyelinap memasuki bilik "swaraning asepi" atau dunia "kasyful hijab", mungkin mereka mulai belajar membuka telinga batin sehingga terdengar suara-suara setan dan Iblis. Kalau suara Allah, para rasul dan nabi, atau auliya' �anggaplah kita kurang cukup bersih untuk bersentuhan dengan frekuensi itu. Mendengar suara setan saja alhamdulillah rasanya.

Suara setan beberapa waktu yang lalu yang saya dengar adalah ketika ada pentas monolog teater yang berjudul "Mencari Tuhan". Setan itu dengan beberapa rekannya tertawa terkekeh-kekeh terguncang-guncang bahkan sampai badannya terguling-guling.

Salah satu setan bilang: "Kasihaaan deh lu Tuhan�.. ratusan abad Kau ciptakan mereka, memasuki abad ke 21 sejak lahirnya Isa Nabi-Mu, dan entah berapa ratus abad yang lalu kau angkat manusia sebagai khalifah-Mu, mandataris-Mu di bumi sejak Adam yang ilmu ekogenetika manusia sudah membuktikannya bahwa ia manusia pertama: tiba-tiba hari ini mereka memberi pernyataan bahwa mereka sedang mencari-Mu�.. Lha selama ini Tuhan ke mana kok sampai dicari-cari oleh mandatarisnya sendiri? Lha para mandataris yang hebat-hebat itu selama ini ngeloyor ke mana saja kok baru sekarang mencari Tuhan? Lho setelah 100 abad menjadi mandataris kok baru mencari siapa dan di mana Sang Pemberi Mandatnya?�.."

Komunitas setan belang bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh terguncang-guncang sampai basah seluruh badannya oleh lelehan air mata. 

 
cak nun.Menjelang hari pertama Ramadhan ini saya mendengar rombongan setan itu sengaja lewat-lewat di sekitar saya dan ngomong aneh-aneh seperti itu. "Puasa kok suasananya lebih ribut dibanding tidak puasa. Puasa cap apa itu? Wong namanya saja puasa kok ribut. Anggaran belanja makanan minuman keluarga-keluarga kaum pelaku puasa malah lebih meningkat dibanding hari-hari tak puasa. Puasa kok meningkat cengengesannya, ribut jualan kue puasa, jajan puasa, kado puasa, lawakan puasa, ustadz puasa, album puasa, mebel puasa, soto rawon puasa, kolak getuk puasa�."
Dan ketika gempa mengguncang Bengkulu, Jambi, Padang, punggung bawah Pulau Sumatera � kejadian yang dulu diramalkan sudah seharusnya terjadi sekitar setahun lalu � Setan itu langsung nyerocos lagi: "Gempa datang untuk mencoba melawan ributnya suara Ramadhan, komoditas Ramadhan, industri Ramadhan, eksistensi dan vokalisme taushiyah Ramadhan�. Tapi berani taruhan bahwa gempa yang diizinkan Tuhan untuk terjadi di malam pertama memasuki Ramadhan itu tak akan mampu mengalahkan riuh rendahnya budaya industri Ramadhan!"

Setan lain bereaksi: "Bukankah itu mencerminkan suksesnya misi-visi kita kaum setan atas kehidupan manusia?" Setan yang pertama menjawab: "Untuk melakukan keributan-keributan perusak kekhusyukan Ramadhan, bulan privatnya Allah itu, umat manusia tidak memerlukan pengaruh atau provokasi kita para setan. Mohon kita akui dengan kebesaran jiwa bahwa kecerdasan manusia untuk mengotori hidupnya sendiri sudah jauh melebihi target maksimal nenek moyang kita para setan dahulu kala untuk merusak hidup manusia."

Setan yang ketiga menimpali: "Manusia itu tolol. Untuk tidak mencuri dan mabuk mereka butuh kitab suci Allah, tak bisa mereka temukan sendiri dengan nurani dan akal sehatnya. Untuk tidak korupsi dan menindas rakyat mereka butuh konstitusi dan hukum formal. Itu pun belum tentu mereka patuhi. Jadi untuk menghancurkan peradaban manusia, sama sekali tidak diperlukan setan dan Iblis. Mereka sudah matang dan dewasa dan canggih menjalankan sistem dan budaya penghancur kehidupan anak cucu mereka sendiri. Meski Tuhan mengizinkan ada tsunami terjadi dan sepadan dengan tsunami di zaman Nabi Nuh dan Firaun, meskipun gunung-gunung diledakkan, meskipun gempa disebar, meskipun tanah bumi diretak-retakkan: manusia sudah telanjur tidak memiliki alat di dalam diri dan sistem kebersamaannya untuk belajar dari bencana-bencana itu. Setiap bencana hanya melahirkan tiga bersaudara: politisasi bencana, komodifikasi bencana, dan wisata bencana�� Mereka sesungguhnya tidak mengerti Ramadhan�."

Saya termangu-mangu dan menjadi ragu sendiri: itu semua kata-kata setan atau malaikat atau isyarat dari Tuhan sendiri? ?
cak nun.

Related Posts:

"Islamic Valentine Day"


cak nun.JUDUL ini harus dikasih tanda petik di awal dan akhir, karena sesungguhnya itu istilah ngawur dari sudut apapun kecuali dari sisi iktikad baik tentang cinta kemanusiaan.

Islam bukan kostum drama, sinetron atau tayangan-tayangan teve Ramadhan. Islam itu substansi nilai, juga metodologi. Ia bisa memiliki kesamaan atau perjumpaan dengan berbagai macam substansi nilai dan metodologi lain, baik yang berasal dari "agama" lain, dari ilmu-ilmu sosial modern atau khasanah tradisi. Namun sebagai sebuah keseluruhan entitas, Islam hanya sama dengan Islam.

Bahkan Islam tidak sama dengan tafsir Islam. Tidak sama dengan pandangan pemeluknya yang berbagai-bagai tentang Islam. Islam tidak sama dengan Sunni, Syi�i, Muhammadiyah, NU, Hizbut Tahrir dan apapun saja aplikasi atas tafsir terhadap Islam. Islam yang sebenar-benarnya Islam adalah dan hanyalah Islam yang sejatinya dimaksudkan oleh Allah.

Semua pemeluk Islam berjuang dengan pandangan-pandangannya masing-masing mendekati sejatinya Islam. Sehingga tidak ada satu kelompok pun yang legal dan logis untuk mengklaim bahwa Islam yang benar adalah Islamnya kelompok ini atau itu. Kalau ada teman melakukan perjuangan "islamisasi", "dakwah Islam", "syiar Islam", bahkan perintisan pembentukan "Negara Islam Indonesia" � yang sesungguhnya mereka perjuangkan adalah Islamnya mereka masing-masing.

Dan Islamnya si A si B si C tidak bisa diklaim sebagai sama dengan Islamnya Allah sejatinya Islam. Demikianlah memang hakikat penciptaan Allah atas kehidupan. Sehingga Islam bertamu ke rumahmu tidak untuk memaksamu menerimanya. La ikraha fid-din. Tak ada paksaan dalam Agama, juga tak ada paksaan dalam menafsirkannya. Tafsir populer atas Islam bahkan bisa menggejala sampai ke tingkat pelecehan atas Islam itu sendiri.

Islam bisa hanya disobek-sobek, diambil salah satu sobekannya yang menarik bagi seseorang karena enak dan sesuai dengan seleranya. Islam bisa diperlakukan hanya dengan diambil salah satu unsurnya, demi mengamankan psikologi subyektif seseorang sesudah hidupnya ia penuhi dengan pelanggaran-pelanggaran terhadap Islam.
cak nun.Islam bisa hanya diambil sebagai ikon untuk mengkamuflase kekufuran, kemunafikan, kemalasan pengabdian, korupsi atau keculasan. Islam bisa dipakai untuk menipu diri, diambil satu faktor pragmatisnya saja: yang penting saya sudah tampak tidak kafir, sudah merasa diri bergabung dengan training shalat, sudah kelihatan di mata orang lain bahwa saya bagian dari orang yang mencari sorga, berdzikir, ingat keserakahan diri dan keserakahan itu bisa dihapus dengan beberapa titik air mata di tengah ribuan jamaah yang berpakaian putih-putih bagaikan pasukan Malaikat Jibril.


Sedemikian rupa sehingga kita selenggarakan dan lakukan berbagai formula dunia modern, industri liberal, mode show, pembuatan film, diskusi pengajian, yang penting dikasih kostum Islam. Tentu saja tidak usah kita teruskan sampai tingkat menyelenggarakan tayangan "Gosip Islami", "Lokalisasi Pelacuran Islami", "Peragaan Busana Renang Wanita Muslimah" atau pertandingan volley ball wanita Muslimah berkostum mukena putih-putih. Sampai kemudian dengan tolol dan ahistoris kita resmikan salah satu hari ganjil di tengah sepuluh hari terakhir Ramadhan sebagai Hari Valentine Islami�

Tapi sesungguhnya saya serius dengan makna Hari Kasih Sayang Islam versi Rasulullah Muhammad SAW. Fathu Makkah, yang diabadikan dalam Al Qur�an sebagai Fathan Mubina, kemenangan yang nyata, terjadi pada Bulan Ramadhan, tepatnya pada tanggal 10 Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah. Pasukan Islam dari Madinah merebut kembali kota Makkah. Diizinkan Allah memperoleh kemenangan besar. Ribuan tawanan musuh diberi amnesti massal�

Rasulullah berpidato kepada ribuan tawanan perang: "�hadza laisa yaumil malhamah, walakinna hadza yaumul marhamah, wa antumut thulaqa�.".Wahai manusia, hari ini bukan hari pembantaian, melainkan hari ini adalah hari kasih sayang, dan kalian semua merdeka kembali ke keluarga kalian masing-masing. Pasukan Islam mendengar pidato itu merasa shock juga. Berjuang hidup mati, diperhinakan, dilecehkan sekian lama, ketika kemenangan sudah di genggaman: malah musuh dibebaskan. Itu pun belum cukup. Rasulullah memerintahkan pampasan perang, berbagai harta benda dan ribuan onta, dibagikan kepada para tawanan.

Sementara pasukan Islam tidak memperoleh apa-apa. Sehingga mengeluh dan memproteslah sebagian pasukan Islam kepada Rasulullah. Mereka dikumpulkan dan Muhammad SAW bertanya: "Sudah berapa lama kalian bersahabat denganku?" Mereka menjawab: sekian tahun, sekian tahun� "Selama kalian bersahabat denganku, apakah menurut hati kalian aku ini mencintai kalian atau tidak mencintai kalian?"

Tentu saja sangat mencintai. Rasulullah mengakhiri pertanyaannya: "Kalian memilih mendapatkan onta ataukah memilih cintaku kepada kalian?" Menangislah mereka karena cinta Rasulullah kepada mereka tidak bisa dibandingkan bahkan dengan bumi dan langit. Tentu saja, andai kita berada di situ sebagai bagian dari pasukan Islam, kelihatannya kita menjawab agak berbeda: "Sudah pasti kami memilih cinta Rasulullah� tapi kalau boleh mbok ya juga diberi onta dan emas barang segram dua gram�"?
cak nun.

Related Posts:

7 Nguntal 9

Tak Perlu pijakkan kaki ke puncak 9
Agar tak buntu dan terperosok ke lubang 0
Karena segala yang bukan Tuhan
Tak kan sanggup menanggung
cak nun.
Pandang 9 sebagai cakrawala cinta
Junjung 9 di atas kepalamu
Jangan sampai masuk ke mulutmu
Telan 9 rohanikan abadikan ke 8
Sebagaimana ujung penamu
menggoreskan 8
cak nun.
Tak pernah menemukan titik akhirnya
Karena Tak kan pun sampai 7 manusiamu
Karena dungu hingga 9 kau pacu nafsu

Related Posts:

La Ubali, Gak Patheken

cak nun.UMAT kemarin kita omong-omong soal Yaumul Marhamah, hari kasih sayang "versi Islam" yang diambil dari peristiwa mulia dan aspirasi demokrasi-plus Muhammad SAW.

Itu salah satu di antara sangat banyak kejadian sejarah sarat makna yang diizinkan Allah berlangsung pada bulan Ramadhan. Hari kasih sayang versi Rasulullah Muhammad SAW itu mengandung dimensi-dimensi nilai yang tak terkirakan kadar kemuliaan sosialnya, keintiman kasih sayang universalnya, strategi cinta yang beyond kelompok, negara, pemetaan-pemetaan politik, kepercayaan diri yang luar biasa dalam konteks militer dan keterpaksaan dalam permusuhan.

Bahkan, selama Muhammad SAW terlibat dalam sejumlah peperangan karena dimusuhi, strategi yang beliau terapkan bukan "bagaimana memusnahkan musuh setuntas-tuntasnya", tapi "bagaimana meminimalisasi korban sampai sesedikit-sedikitnya kematian pada kedua belah pihak".

Peristiwa Fathu Makkah itu diabadikan oleh Allah di Surat Al-Fath, perkenan dan proklamasi kemenangan fathan mubina, kemenangan sangat nyata. Proklamasi itu dipaparkan dengan klausul-klausul permaafan atas dosa-dosa para pejuang murni, dosa yang lalu maupun yang masa kini, klausul penyempurnaan nikmat, serta klausul pertolongan-pertolongan besar atas masalah-masalah mereka.

Yang menurut saya sangat penting dari Yaumul Marhamah bukanlah kemenangan atas musuh. Maka ia tak disebut Yaumul Fath, hari kemenangan, melainkan hari kasih sayang. Karena pasalnya bukan terutama kemenangan kekuatan manusia atau kelompok atas kelompok atau manusia lain, melainkan kemenangan atas diri sendiri. Kemenangan atas nafsu sendiri.

Kemenangan untuk tidak memusuhi meskipun dimusuhi. Kemenangan untuk tidak membenci orang yang memerangi kita. Kalau terpaksa meladeni peperangan, bela diri atau persaingan, itu dilakukan karena tidak diberi formula dialektika yang lain. Sehingga itu kita lakukan tetap dalam kesadaran kasih sayang kemanusiaan dan kemakhlukan.

Jika "terpaksa" menang, tidak kita nikmati dan rayakan kemenangan atas pihak lain itu karena yang substansial dan mengandung kemuliaan adalah kemenangan atas diri sendiri, kemenangan atas sifat-sifat rendah di dalam diri kita sendiri. Secara "GR" saya merasa sedang menjalani proses sejarah yang sama, atau yang "saya disama-samakan" dengan pengalaman Rasulullah itu. Ampun-ampun bukannya sok, tapi beraninya mengacu hidup ini ya kepada Rasulullah. Jatah hidup beliau 63 tahun, jadi saya tak berani membayangkan akan hidup lebih dari 63 tahun, meskipun itu semua hak Allah.

Tigabelas tahun sudah forum bulanan "Padangbulan" saya di Jombang beserta "anak-anaknya bulanan" juga di 5 wilayah lain: Yogya, Semarang, Surabaya, Malang, termasuk "Kenduri Cinta" di Jakarta. Juga di tempat-tempat lain yang sporadis, di samping keliling tak henti ke seluruh pelosok Nusantara, dengan meninggalkan dunia ekspose, media massa, dst. Itu semua sejak setahun yang lalu saya batasi sampai Ramadhan atau Agustus kemarin.

Tigabelas tahun Rasulullah di Mekkah berjuang dan memperoleh 180 sahabat penyujud Allah. Tigabelas tahun era Padangbulan saya mendapatkan ketidakpahaman publik, fitnah dan sinisme massal, namun alhamdulillah dianugerahi juga sangat banyak teman di setiap sudut negeri yang setia "bercinta" di antara jaringan kami. Khusus Kiai Kanjeng yang dicampakkan Allah ke Vatikan, Helsinki, London, Napoli, Elfayoum, Sydney dan 30 kota lain di dunia: di Tanah Air mereka melahirkan ratusan bahkan ribuan "anak-anak".

Di satu kabupaten Jawa Timur saja lahir lebih 30 anak-anak Kiai Kanjeng. Ribuan anak-anak itu melakukan hal yang sama dengan Kiai Kanjeng: menyebarkan cinta dan keberdayaan sosial, melagukan nomor-nomor Kiai Kanjeng, menyusun sel-sel formula cinta sosial multidimensi, dengan kesadaran tidak merebut siapa pun dari kelompoknya, apa itu NU, Muhammadiyah, PKS, atau apa juga. Jamaah Maiyah hanya serbuk, bukan pohon politik, bukan ormas, bukan parpol, atau kelompok wadag materiil.

cak nun.Ramadhan atau Agustus 2007 kemarin batas gerbang zaman bagi orang-orang kecil macam kami. Konteksnya batas akhir Indonesia akan hancur total atau bangkit. Berbagai dimensi lain terkandung di dalamnya, namun tak mungkin diuraikan dalam tulisan singkat ini. Dari skala kecil, setiap keluarga maiyah hingga peta global yang ada, Morales, Ahmadinejad, dan lain-lain, di dalamnya.

Tetapi poinnya bukan fathu Makkah dalam arti kemenangan atas dunia yang memperhinakan kami selama ini. Melainkan kemenangan atas diri sendiri di dalam arus penghinaan dan pelecehan yang luar biasa dahsyat itu selama 13 tahun. Sebagaimana pada peristiwa Ramadhan yang lain, yakni Perang Badar, Rasulullah menyampaikan ungkapan luar biasa bernilai peradaban dunia: "Kita baru saja menyelesaikan dan memenangkan jihad kecil, kini memasuki jihad akbar, yakni perang melawan nafsu diri kita sendiri".

Perang melawan kerakusan ekonomi, kebodohan dalam ketertindasan, keserakahan agenda-agenda politik kekuasaan yang menjadi kiblat semua pemegang tongkat sejarah. Perang Badar Kubro yang diabadikan dalam Alquran sebagai yaumul furqan, hari pembeda antara kebenaran dan kebatilan, dan umat Islam saat itu meraih kemenangan besar, terjadi pada 17 Ramadhan tahun ke-2 Hijriah.

Pada pertempuran di bulan Ramadhan ini, 313 (180+133) tentara kaum Muslimin berhasil menghajar telak dan melibas 1.000 pasukan lawan yang maintenance militernya jauh lebih unggul. Rasulullah memberikan dua ilmu atau rumus menjalani kehidupan. Pertama, kepada pasukan Badar yang sangat lemah segala-galanya, Rasulullah berkata:

"Kalian akan ditolong oleh Allah, diberi kemenangan dan rezeki. Tapi itu bukan karena kehebatan kalian, melainkan karena orang-orang lemah yang kalian perjuangkan". Ilmu dan rumus kedua, Rasulullah tidak bodoh dan irasional untuk memohon kepada Allah "Ya Allah, berikanlah kemenangan kepada pasukan Islam."

Melainkan suatu pernyataan yang jenius kepada Allah: "Asalkan Engkau tidak marah kepadaku, ya Allah, maka atas segala ketentuan-Mu atas nasib kami di dunia, la ubali, aku tidak peduli." Bahasa Jawanya: "Gak patheken!" Mau dihina, diremehkan orang, monggo. Difitnah, disikapi tidak adil, ditimpa pembunuhan karakter, santet, bahkan pembunuhan fisik, silakanlah. Apa saja. Asalkan Allah ridho kepada kita
.

Orang yang berpikir linier, menyangka yang akan terjadi pada dirinya dengan sikap itu adalah nasib buruk di dunia. Insya Allah dia keliru. Sebab justru dengan keikhlasan itu engkau siklus lingkar keberkahan: engkau memperoleh cinta Allah dan Rasulullah, juga dijamin kesejahteraanmu, rezeki dan kemenanganmu, sebab dunia dan kehidupan ini milik-Nya. Dan Ia pasti lebih memilih melimpahkan rezeki kepada pencinta-Nya yang tidak membuatnya "cemburu" karena lebih mengutamakan karier dunia dibanding diri-Nya.
cak nun.

Related Posts:

Nabi Membakar Masjid

cak nun.Rasulullah Muhammad s.a.w. pernah memerintahkan sejumlah petugasnya untuk membakar sebuah masjid, karena beliau menemukan bahwa kecenderungan pada �Takmir Masjid� dan komunitas yang melingkupinya membuat masjid itu lebih merupakan tempat kemunafikan dan pemecah-belah kesatuan, dengan berbagai manipulasi dan kemunkaran, sehingga adanya masjid itu menimbulkan mudharat lebih besar dibanding manfaatnya.

Coba kita ambil pelajaran, satu poin saja dulu, dari kejadian itu. Misalnya, tidak bisa kita memahaminya dengan pola pandang modern dengan sistem dan konstitusi kenegaraan seperti yang kita anut sekarang. Di zaman kepemimpinan Rasulullah di Madinah, beliau adalah pusat keadilan, pusat nurani, dan pusat kebenaran, yang dipercaya. Orang percaya sepenuhnya kepada beliau, sehingga beliau diridhai orang banyak untuk menjadi pusat pengambilan keputusan.

Rasulullah bisa disebut diktator atau otoriter andaikata beliau tidak dipercaya rakyat, serta apabila beliau memaksakan suatu keputusan yang umat menilai ada kemunkaran pada keputusan itu. Tetapi belum pernah ada buku sejarah menyebut Muhammad s.a.w. sebagai seorang yang otoriter, karena memang umat percaya dan rela. Padahal secara sistem, konstitusi dan hukum sebagaimana yang kita pahami sekarang, Rasulullah tidak punya hak atau kewenangan untuk mengambil keputusan dan tindakan seperti itu: Rasulullah melanggar HAM dan konstitusi.

Di dunia modern, tidak ada manusia yang bisa dipercaya oleh orang banyak, apalagi dipercaya sampai tingkat, kadar dan cinta masyarakat memercayai Muhammad s.a.w. Kalau orang tidak saling percaya, maka mereka sama-sama berkepentingan untuk membikin aturan, hukum, konstitusi, transaksi, konvensi, atau apa pun namanya dan konteksnya. Orang mendirikan pagar bersama karena dikhawatirkan sewaktu-waktu akan ada, entah siapa, yang melanggar batas. Di zaman ini orang memerlukan perlindungan norma dan hukum, karena sesama manusia tidak ada kemungkinan saling mempercayai dan mempercayakan secara nurani untuk mendapatkan perlindungan satu sama lain.
cak nun.

Anda bisa berkata: �Saya tidak perduli dan tidak mempelajari hukum. Tanpa pasal-pasal hukum pun saya tidak mencuri, tidak akan melakukan korupsi, mo-limo, pembunuhan atau menyakiti orang lain. Kunci-kunci hukum sudah ada dalam kandungan nurani, kalbu dan akal sehat saya. Ada KUHP atau tidak, ada Undang-Undang atau tidak, saya insya allah bisa menjadi manusia yang tidak akan melanggar hakikat hidup manusia yang sejak diciptakan Allah memang wajib saling menyelamatkan, saling menyejahterakan dan saling mencintai.�

Akan tetapi di alam modern sekarang, kalimat Anda itu tidak akan dipercaya oleh siapa pun. Karena manusia modern tidak punya pengalaman menjadi manusia baik dengan hanya berbekal nurani dan akal sehatnya sendiri. Manusia modern tidak melanggar hukum karena takut kepada hukum, bahkan takut kepada polisi. Manusia modern sangat sukar percaya kepada orang baik, karena tidak punya pengalaman otentik untuk menjadi orang baik. Ada sejumlah orang di dunia modern yang benar-benar baik, tapi tak akan diakui sebagai orang baik, karena adanya orang baik pada wacana modern hanya terdapat di masa silam. Orang baik adalah mitos. Kebaikan hanya terdapat dalam mitologi. Sufi, ulama sejati, hanya beralamat dalam khayalan tentang masa silam. Kalau Sufi hidup sekarang, tak akan ada mata, kalbu, dan akal yang menemukan dan mengakuinya sebagai Sufi.

Meskipun Anda benar-benar orang baik, berhasil menolong Raja dan rakyat dari bentrok dan kesengsaraan, bahkan dibantu oleh Allah menerapkan keajaiban sehingga produk Anda tak ada duanya di dunia, jangan berharap dipercaya oleh siapa-siapa. Anda pasti justru dicurigai, disinisi, difitnah, dituduh setan, pengkhianat dan segala kata kutukan lain. Karena Anda memang hidup di tengah manusia modern yang merasa dirinya pahlawan-pahlawan rakyat namun yang otentik dan kongkret pada hidup dan kepribadiannya adalah khianat, sinisme, kecurigaan, buruk sangka, potensialitas setan, pemfitnah. Mereka tidak kenal yang selain fitnah, sangka buruk, kemunafikan, sikap sok pahlawan, yang datang ke rakyat menderita untuk memproklamasikan diri menjadi pembela rakyat, pejuang rakyat, tanpa para rakyat pernah memintanya atau mengamanatinya menjadi pahlawan. Rakyat juga sama sekali tidak punya parameter untuk membedakan mana pejuang mana pedagang, mana pahlawan mana pendusta, atau mana pecinta mana eksploitator (pemeras). Rakyat semacam itu, yang sabar dan tahan memelihara kebodohannya, saya jamin akan terus-menerus sengsara, tak kan pernah memperoleh solusi apa pun atas masalah-masalah mereka. Karena para pejuang yang mendatangi mereka memang tidak pernah punya niat untuk mencari solusi; justru mereka membutuhkan masalah, membutuhkan penderitaan rakyat, demi eksistensi mereka, demi pencarian nafkah mereka: menjual penderitaan orang banyak. Mereka memproklamasikan diri menjadi �Nabi� tanpa �nubuwah�. Mengklaim diri sebagai �Rasul� tanpa �risalah�. Makanan mereka adalah kepala kosong rakyat yang memelihara kebodohannya. �Masjid� semacam itulah yang dibakar oleh Rasulullah.

Sekarang hal itu tak mungkin terjadi, karena Negara memiliki hukum. Hukum yang memang sangat diperlukan, namun sangat sempit, linier, serta mengandung kebodohan dan bumerang berlimpah-limpah. Tapi silakan Anda percaya atau tidak: �Masjid� itu nanti akan �dibakar�.?
cak nun.

Related Posts:

Peran Narkoba Dalam Pembangunan

cak nun.Di kedua lengan tangan bawah saya bagian dalam terdapat sejumlah goresan kecil-kecil yang kayaknya nggak bisa hilang.Orang yang meliriknya normal kalau menyimpulkan itu bekas luka-luka suntikan narkoba, tanpa bisa menemukan alasan apa pun untuk menggeremeng di dalam hatinya kenapa orang macam saya pasti bebas dari narkoba. Luka-luka itu berasal dari praktik Ilmu Hijamahnya Rasulullah SAW yang di Jakarta terkenal dengan aplikasi nama �bekam�. Seharusnya ujung jarum ditutul-tutulkan secara sangat hati-hati dan peka sehingga kedalaman tusukan itu tak boleh lebih dari 0,4 mm sebagaimana teknik tusukan dan hisapan lintah.

Tetapi karena pelakunya kecapaian, yang dia lakukan atas tangan saya bukan tutulan, melainkan goresan. Semacam malapraktik kecil-kecilan yang menguntungkan saya karena memperoleh rahmat seumur hidup untuk disangka orang pemakai narkoba. Setiap hari, terutama ketika mandi, selalu terpandang goresan-goresan itu sehingga selalu juga saya ingat narkoba.Tak ada hari saya lewati tanpa ingat narkoba.Dia menjadi teman hatiku sehari-hari,menjadi sahabat dialektika kesadaranku siang dan malam.

Kalau di suatu siang yang panas gerah selintasan angin menerpa badanmu dan mengusap rambutmu, angin itu menjadi bagian dari dirimu. Segala sesuatu yang kau pandang, kau dengar, kau rasakan,kau alami, apalagi memasuki dirimu dan menjadi anasir dalam darahmu, dia menjadi bagian dari dirimu, bagian dari ingatan dan kesadaranmu, bagian dari sejarahmu. Menjadi file hard disk-mu, hidden atau unhidden.

Kau sukai atau kau benci, dia tetap adalah bagian dari kosmologi dan dzat kemakhlukanmu. Soekarno, Soeharto, SBY, Hitler, Iblis, malaikat, apa saja, tak bisa hilang dari sistem komprehensif hidupmu.Semula dia sekadar kita sangka merupakan �bagian dari� dirimu, suatu saat engkau menemukan dia �adalah�dirimu. Itulah sebabnya terdapat nasihat �kuno� tentang kehati-hatian: �Setiap butir nasi dan tetes air yang memasuki tenggorokanmu, perhatikan asal usul kebenaran dan kebatilannya, posisi halal haramnya.
Sebab engkau sedang mengawali dan memproses takdir bagi anak-anak dan cucu-cucumu.� Ini bukan filsafat teoretis. Ini ilmu dan pengetahuan empiris.Para ilmuwan meneliti tikus yang sakit turunan sejak kakek neneknya: mereka tidak melakukan tindakan kuratif medis untuk menyembuhkan tikus, melainkan mengubah habitatnya, merangsang perubahan perilakunya, tata ruang tempat tinggalnya, pola makan minumnya, memastikan keabsahan asal usul segala konsumsinya. Pada jangka waktu tertentu tikus itu sembuh dan tidak mewariskan sakit yang sama kepada anakanaknya lagi.

Demikian berlangsung sampai generasi berikutnya, kecuali perubahan perilaku dan sejarah konsumsi itu diubah lagi. Dari kasus tikus itu kita temukan betapa terkait erat hubungan antara kondisi seseorang dengan habitat di mana dia hidup.Tidak bisa orang kena narkoba sendirian tanpa habitat yang memang kondusif terhadap kenarkobaannya. Itu tak harus berarti pemakai narkoba selalu lahir dari lingkungan pemakai narkoba, tetapi ada faktor- faktor yang jauh lebih luas dan komprehensif-dialektis.
cak nun.

 

Tradisi konsumsi narkoba sangat bisa terkait dengan pola budaya, cara berpikir, nilai sosial, cara- cara mempertimbangkan sesuatu, kualitas nilai yang dipilih tentang siapa tokoh siapa bukan, siapa duta siapa bukan, termasuk kewaspadaan atau kesembronoan institusional ketika menentukan atau memilih ini dan itu. Bagian dari korek api yang terbakar hanya sumbunya,tetapi tak ada nyala api tanpa bagian-bagian lain dari korek api. Jangan berpikir korek api adalah nyala api �saja�, jangan berpikir bahwa habitat narkoba hanya pemakai narkoba �saja�.

Kalau diperluas, jangan berpikir bahwa pelaku korupsi adalah koruptor saja, sebab mereka melakukan korupsi �berkat� adanya faktor-faktor lain yang komprehensif yang memungkinkannya melakukan korupsi.Tegasnya,kita semua �menanggung dosa� sistemik dan struktural atas penyalahgunaan obat terlarang, atas korupsi, juga atas munculnya apa yang kemudian terpaksa kita sebut sebagai aliran sesat. Ada dimensi-dimensi sosial di mana kita semua telah melakukan ketidakbertanggungjawaban kolektif atas sejumlah nilai dasar kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga suburlah ketiga �narkoba�itu.

Dengan teori habitat itu, tak ada yang mengherankan kenapa lembaga penanggulangan narkoba �salah pilih� dutanya: api menyala pada sumbu, tapi berasal dari sistem menyeluruh korek api. Oleh karena itu memang diperlukan ekstrakewaspadaan di dalam mempersepsi, menganalisis, dan mengatasinya.

Apalagi kita sedang berada pada habitat alamiah kemanusiaan yang sampai batas tertentu justru sangat potensial untuk lambat atau cepat pasti menghancurkan kemanusiaan kita sampai anak cucu. Misalnya, mari sejenak kita keluar dari rumah tikus itu dan memperhatikan faktor yang lain sama sekali. Misalnya, para ilmuwan itu lebih tertarik pada tikus yang sakit dibanding jutaan tikus lain yang sehat. Ini hukum alam. Sakit lebih menonjol dibandingkan waras.

Kacau lebih menggairahkan dibanding aman.Buruk lebih laku dibandingkan baik. Jahat lebih sensasional dibandingkan mulia.Hancur lebih mudah dipasarkan dibandingkan bangkit. Curang lebih nendang dibandingkan jujur. Bentrok lebih nikmat dipergunjingkan dibandingkan rukun.Chaos lebih nyaman diinformasikan dibandingkan tenteram. Kalau rumus �orang baik� kalah menarik dan kalah unggul dibandingkan �orang pernah buruk� yang dipakai oleh birokrasi, lembaga informasi, institusi pengelolaan sosial serta semua kepengurusan kehidupan bangsa kita, sesungguhnya kita sedang menyediakan ruang utama dalam pengelolaan pembangunan sejarah bangsa ini kepada �orang pernah buruk�,sekadar karena kurang selera atas �orang baik�. Adalah narkoba nasional yang segera menghancurkan kita semua jika tak segera berhenti menyerahkan negara ini kepada �orang yang menarik�, bukan kepada �orang yang mengamankan�.?
cak nun.

Related Posts:

Kasan Kusen

cak nun.SESUDAH dibantai dengan jenis kekejaman yang sukar dicari tandingannya dalam peradaban umat manusia, penggalan Sayidina Husein putra Fatimah putri Muhammad Rasulullah SAW diarak, diseret dengan kuda sampai sejauh 1.300 kilometer. Wallahua'lam, ada yang bilang dibawa sampai ke Mesir, yang lain bilang ke Syria --sebagaimana ada beberapa makam Sunan Kalijogo di Pulau Jawa-- tapi pasti pembantaian sesama muslim itu terjadi di Karbala.

Orang yang mencintai beliau bisakah menangis hanya dengan mengucurkan air mata, dan bukan darah? Jutaan pencintanya memukul-mukul dada mereka agar terasa derita itu hingga ke jantung dan menggelegak ke lubuk jiwa. Ribuan lainnya membawa cambuk besi atau apa saja yang bisa melukai badan mereka agar kucuran darah itu membuat mereka tidak siapa pun kecuali Imam Husein sendiri. Orang yang mencintai melarutkan eksistensinya, melebur, hilang dirinya, dirinya sirna, menjadi orang yang dicintainya.

Keperihan maut Husein itulah yang menjadi sumber kebesaran jamaah Syii di dunia. Duka yang mendalam atas apa yang dialami cucu Nabi itulah yang membuat kaum Syiah menyerahkan hatinya dengan sangat penuh perasaan kepada komitmen ahlulbait, keluarga Nabi. Sementara di pusat Islam sendiri, Arab Saudi --kerajaan yang didirikan oleh koalisi keraton Abdul Aziz dengan ulama Wahabi-- konsentrasi emosional terhadap ahlulbait sangat dicurigai sebagai gejala syirik yang melahirkan berbagai jenis bid'ah, yakni perilaku-perilaku budaya keagamaan yang diciptakan tidak atas dasar ajaran Nabi sendiri, sehingga dianggap mengotori kemurnian peribadatan Islam.

Semacam ''dendam sejarah'' yang berasal dari tragedi Karbala itulah yang melahirkan soliditas sistem imamah dalam budaya keagamaan kaum Syii. Kepemimpinan dan keumatan dalam Syiah merupakan kohesi horizontal-vertikal yang sangat berbeda vitalitasnya dibandingkan dengan tradisi kaum Sunni. Seandainya di Indonesia orang mengatakan ''Gus Dur dengan 30 juta umat NU-nya'' atau ''Amien Rais dengan 25 juta umat Muhammadiyahnya'' --yang dimaksud adalah kaum Syii, maka tidak ada kekuatan apa pun yang bisa mengalahkan koalisi NU-Muhammadiyah dalam perpolitikan Indonesia.

Kaum Sunni menyebut Abu Bakar, Umar, dan Utsman dulu sebelum Ali. Bahkan tidak secara spesifik menyebut Hasan dan Husein. Orang Syii jengkel kepada ketiga khalifah itu karena menurut versi sejarah mereka, tatkala Nabi Muhammad SAW wafat, yang menguburkan hanya Ali, Aisyah, Fatimah, Abbas, dan seorang lagi pekerja penguburan. Sementara Abu Bakar, Umar, dan Utsman sibuk di Tsaqifah, ''KPU'' yang memproses siapa pemimpin pengganti Nabi --tanpa memedulikan jenazah Nabi.
Bahkan, ketika tengah malam usai penguburan, sejumlah rombongan dipimpin Umar menggedor rumah Ali untuk memaksa menantu Nabi ini menandatangani pengesahan pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama.Sayidina Hasan, kakak Husein, juga tak kalah sialnya. Pagi-pagi, ia disuguhi racun oleh istrinya yang lantas mengaku bahwa itu atas suruhan Muawiyah. Hasan memaafkan istrinya, dan besok pagi sesudah kejahatannya dimaafkan, sang istri kembali menyuguhkan racun, Hasan meminumnya dan menemui ajal.

Dalam kandungan hati orang Syiah, memang tidak banyak orang menderita seperti Rasulullah Muhammad SAW: jenazah beliau belum diurus, orang-orang yang sangat dicintainya sudah ribut memperebutkan jabatan. Nabi unggul dan sangat populer sepanjang sejarah, tapi rumah yang ia tempati bersama Aisyah istrinya hanya seluas 4,80 x 4,62 meter. Makhluk diciptakan oleh Allah berupa cahaya, namanya Nur Muhammad --meskipun secara biologis ia dihadirkan 600 tahun sesudah Isa/Yesus-- namun semasa hidupnya ia menjahit sendiri baju robeknya, mengganjal perut laparnya dengan batu di balik ikat pinggangnya, dan waktu wafat masih punya utang beberapa liter gandum.

Manusia yang paling mencintai Allah dan paling dicintai Allah, namun Allah merelakan keningnya berdarah dilempar batu oleh pembencinya, mengizinkannya mengalami tenung sebelum menerima tiga surah firman-Nya. Tak ada kemewahan dunia apa pun melekat padanya. Bahkan, ia tak sanggup menolong Fatimah putrinya yang beberapa hari bersembunyi telanjang dalam selimut di kamar karena pakaiannya dijual Ali suaminya untuk bisa makan.

Muhammad dan keluarganya sangat disayang, bahkan dicintai dengan gelegak rasa perih, karena derita. Ia pun memilih karakter abdan nabiyya, nabi yang rakyat jelata, dan menolak ditawari Allah menjadi mulkan nabiyya, nabi yang raja diraja.

Allah menawarinya jabatan raja agung dengan kekayaan berupa gunung emas --yang ternyata memang sudah disediakan oleh-Nya, di wilayah antara Madinah dan Mekkah, yang hari ini menjadi cadangan kekayaan Arab Saudi, di samping tambang minyak temuan baru di perbatasan Saudi-Yaman yang hari ini bisa menjadi sumber konflik antara kedua negara. Sebab, jika Yaman menguasai sumber minyak itu, karena daerah geografisnya lebih rendah, maka minyak Saudi di perut bumi akan terserap olehnya.Rasulullah pernah bersabda bahwa kelak kaumnya akan mengalami kekalahan dan hidup dalam kehinaan, karena ''hubbud dunya wa karohiyatul maut'' --kemaruk pada harta dunia dan takut mati.
cak nun.

 

Wallahua'lam. Dalam hal maut, mestinya kaum Syii lebih memiliki etos dan kesadaran spesifik, karena riwayat Ali, Hasan, dan Husein yang mereka tokohkan. Maut dan derita Husein adalah sumber tenaga sejarah. Kematian Husein bukan balak atau tragedi, melainkan kebanggaan yang melahirkan kesadaran baru mengenai ideologi ''jihad'' dan ''syahid''.

Jihad adalah persembahan total diri seseorang kepada kepentingan Allah melalui perjuangan kebenaran yang diyakini. Jihad membuat dunia menjadi kecil, remeh, dan tidak penting. Jika seseorang sudah terpojok, bedil musuh di depan dan kiri-kanannya, sementara kebuntuan di belakangnya, maka jiwa jihad menjadi menggelegak. Keterpojokan membuatnya bersyukur karena dunia, hedonisme, kemewahan, dan segala hiasannya sudah tidak punya makna lagi. Tinggal satu: Allah.

Jika Ia sendirilah yang merupakan tuan rumah dalam kehidupannya, maka kematian adalah sesuatu yang dirindukan. Maka, ia terus bersemangat untuk berperang. Bukan karena perang itu sakit atau nikmat, melainkan karena Allah memberinya jalan syahid tanpa hambatan dunia. Maka peluru musuh tidak dihindarinya, melainkan disongsongnya. Karena itu, bisa dipahami tatkala pasukan koalisi kecele bahwa ternyata kelompok Syiah tidak begitu saja bisa diprovokasi untuk serta-merta mensyukuri kedatangan pasukan koalisi, hanya karena sepanjang hidup di Irak mereka ditekan oleh Saddam Hussein.

Akan tetapi, pada level kualitas perjuangan yang lebih tinggi, juga sangat disayangkan bahwa kaum Syiah tidak mampu secara kolektif meneruskan konsistensi etos jihad dan syahidnya sampai ke tingkat substansi yang lebih berkemuliaan. Ketika mereka melakukan pawai ke Karbala untuk mengekspresikan rasa cinta Husein, yang terjadi baru semacam pelampiasan bahwa kini Saddam penghalang mereka sudah tidak memiliki kekuatan.

Pawai itu tidak membawa mereka kepada nilai kepemimpinan dan perjuangan yang lebih tinggi yang menyangkut: (1) Nasionalisme Irak tanah persemayaman mereka, (2) Martabat bangsa-bangsa Timur Tengah, juga (3) Harga diri kaum muslimin di hadapan fundamentalisme Bush.

Pawai Karbala hanya menyampaikan kaum Syiah pada keperluan lokal kaum Syiah sendiri. Peta yang tergambar hanya kekuasaan Saddam dan eksistensi kaum Syiah di Irak. Padahal, sesungguhnya mereka kini berada dalam posisi yang relatif sama dengan Saddam dan negara-negara Arab lainnya, dalam konteks adikuasa Amerika Serikat.

Bush barusan menyatakan bahwa minyak Irak bukanlah milik Saddam dan keluarganya. Sesungguhnya Bush utamanya sedang berkata kepada monarki Arab Saudi: minyak di Saudi bukanlah milik Raja Saudi beserta para amir dan keluarga serta keluarga kerajaan. Bersiaplah pada suatu hari wacana itu akan diaplikasikan. Kerajaan Arab kini berada dalam ketakutan yang mendalam: Raja Fahd sudah hampir terkikis kesehatannya, Fahd yang menggenggam de facto kekuasaan sudah berumur 84 tahun, beberapa pangerannya sakit kaki.
Sejak 1980, Arab mengizinkan tanahnya menjadi salah satu pijakan kekuatan militer Amerika Serikat. Kerajaan mendapat jaminan bahwa keluarganya tak akan diutik-utik. Silakan ambil Irak, Suriah, atau mana pun, asal keluarga Saudi tidak diganggu. Kalau perlu, apa boleh buat, Mekkah dan Madinah dikuasai, asalkan kerajaan tetap selamat. Tapi, siapakah yang menjamin keselamatan eksistensi keraton Saudi tanpa ia sendiri membangun kekuatan di dalam dirinya? Apakah Amerika Serikat menjamin keamanan mereka, meskipun rudal-rudal Patriot milik Kerajaan Saudi di-''infak''-kan kepada pasukan koalisi untuk dipakai menghancurkan Irak, saudaranya sendiri, pada peperangan Maret-April kemarin?

Kekuasaan Saudi tak usah dibayangkan akan sanggup melindungi Mekkah dan Madinah. Tidak mustahil, dua sampai lima tahun lagi, keluarga Kerajaan Saudi tak akan sanggup mempertahankan eksistensinya dari gejolak dan pemberontakan rakyat Saudi yang sudah benar-benar sangat bosan hidup dalam situasi kenegaraan yang tanpa rasionalitas, tanpa demokrasi, tanpa kebudayaan, tanpa tradisi ilmu, tanpa etos-etos modern, dan sepertiganya kini menjadi penganggur, tidak terbiasa bekerja keras, jualan sayur saja gagal.

Kemarin saya mendatangi tumpukan batu tinggi kokoh bekas benteng pertahanan keluarga Yahudi Kaab bin Asraf di kota Madinah. Rasulullah sebelumnya telah mengumpulkan semua segmen masyarakat Madinah untuk bersama-sama menandatangani Piagam Madinah --etika masyarakat plural. Namun, Kaab melanggar perjanjian itu. Terjadi peperangan, Kaab kalah. Dan di milenium III abad ke-21 ini, Kaab akan hadir kembali mengambil Madinah.

Jadi, masalahnya bagi kaum Syiah bukan sekadar bagaimana mereka mendapatkan kemerdekaan hidup di Irak, karena sesungguhnya sekadar di Irak pun, pasca-Saddam, kemerdekaan kaum Syiah itu juga semu. Peta Timur Tengah dan dunia sudah berubah total. Konflik Sunni-Syiah seharusnya sudah menjadi sekunder. Kalau orang Syiah memukul-mukul dada mereka, merintih-rintih, menangis, dan memekik-mekik --konsentrasi keperihan itu kini tidak lagi an sich derita Sayyid Husein belasan abad yang lalu.

Kasan Kusen --demikian masyarakat santri tradisional Jawa menyebut nama kedua cucu Nabi itu-- abad ke-21 tak kalah menderitanya. Mereka tak hanya dicacah-cacah tubuhnya dan dipenggal kepalanya. Mereka bahkan dirudal, dibom, dimusnahkan, disirnakan, diinjak-injak harga diri kemanusiaan dan martabat kebangsaannya, bahkan dirampok hartanya secara terang-terangan.?
cak nun.

Related Posts:

amazon