Villa Isola, sebuah mahkota dunia

 Villa Isola, sebuah mahkota dunia
Ilustrasi JONY/�PR�
Lokasi : Jalan Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung 40154
Pengelola : Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
�M� ISOLO E VIVO�. Ungkapan berbahasa Belanda tersebut mengandung arti: saya mengasingkan diri dan bertahan hidup dalam kesendirian. Falsafah ini yang diamani Dominic Willem Berretty saat ia membangun sebuah vila pribadi di sebuah kawasan di dataran tinggi Bandung. Bangunan milik pria keturunan Indonesia-Eropa ini pun akhirnya dikenal dengan nana Villa Isola. Kendati berada di lokasi terpencil. Villa Isola merupakan bangunan paling canggih pada zamannya dan menuai banyak pujian. Bahkan salah seorang arsitektur dunia pada masa itu. JP Coen, menyebut Villa Isola sebagai sebuah mahkota dunia.

Villa Isola didirikan pada 1933 di atas lahan seluas 120.000 m2. pembangunannya memakan waktu delapan bulan, dimulai pada Oktober 1932 dan selesai pada Maret 1933. Pada awal berdirinya, bangunan megah ini dilengkapi halaman seluas 7,5 hektare yang berisi taman, air mancur, dan air terjun mini yang mengalir ke danau. Konon, Villa Isola merupakan salah satu masterplace maestro arsitektur tropis modern, Charles Prosper Wolff Schoemaker. Rancangan bangunan vila menggabungkan gaya modern art deco dengan unsur tradisional kosmik Jawa yakni penggunaan sumbu pintu selatan dan utara. Bagian kiri dan kanan vila dibuat simetris dan memiliki bentuk atap mendatar. Penambahan ruang di dalam vila dibangun vertikal sebanyak empat lantai dengan bentuk tangga melingkar di kiri dan kanan pintu masuk.

Berretty hanya setahun menempati vila ini karena ini meninggal dalam sebuah kecelakan pesawat. Beberapa tahun setelah kematiannya, Villa Isola dibeli oleh Hotel Savoy Homann dan menjadi bagian dari hotel tersebut. Pada masa pendudukan Jepang, vila ini sempat dijadikan tempat tinggal sementara Jendral Hitoshi Imamura menjelang diselenggarakannya Perjanjian Linggarjati di Subang. Pascakemerdekaan, tentara Indonesai berhasil merebut kembali Villa Isola dan mengubah namanya menjadi Bumi Siliwangi yang berati rumah pribumi.

Pada 1954, Villa Isola dijadikan gedung Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) oleh pemerintah Indonesia. PTPG merupakan cikal bakal Institut Keguruan dan Ilmu pendidikan (IKIP) atau Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Banduing. Saat itu, bangunan vila dijadikan kantor rektorat sekaligus ruang kelas. Kini, rektor, pembantu rektor, dan sekretariat UPI masih menempati gedung Villa Isola. Untuk mempertahankan eksistensi Villa Isola sebagai salah satu warisan cagar budaya. UPI akan membangun kawasan Isola Heritage. Diharapkan kawasan ini dapat dinikmati oleh seluruh kalangan sebagai bagian daei wisata pendidikan

Sumber: Hanif Hafsari Chaeza/Periset �Pikiran Rakyat�)***

Related Posts:

Akhir Zaman dari Kaca Mata Budaya

Akhir Zaman dari Kaca Mata Budaya
RETNO HY/PR
PERMUKIMAN Kampung adat Dukuh, Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut. Masyarakat setempat mengenal kiamat seperti mengingatkan untuk selalu memegang teguh warisan dari leluhurnya.*
MENDENGAR kata �Kiamat� pasti membuat kita bertanya-tanya kapankah itu. apalagi, berbagai macam ramalan yang memprediksi kedatangan hari akhir zaman itu terus diungkap. Berbagai upaya juga yang membuat teorinya, baik untuk mengiakan maupun membantah ramalan itu.

Mengupas ramalan kiamat bukanlah hal yang baru dikalangan masyarakat adat. Kiamat seakan mengingatkan mereka untuk terus berlaku sesuai ajaran adat dan keyakinannya. Seperti yang dilakukan masyarakat adat di Kampung Dukuh, Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, yang memegang teguh warisan dari leluhurnya.

Juru bicara masyarakat Kampung Dukuh Yayan Hermawan, menyebutkan ada sebuah upacara di masyarakat adat Kampung Dukuh terkait kiamat. Namun, dalam upacara itu tidak disebutkan waktu kiamat itu datang. Tidak seperti ramalan suku maya yang menyebut dengan pasti waktu kiamat itu. Upacara yang disebut ngaguar uga (mengupas ramalan) membahas pertanda mendekati akhir zaman. �Hal itu sebagai pangeling bagi masyarakat agar berlaku sesuai tata yang sudah dibuat,� kata Yayan.

Dalam ngaguar uga, dipaparkan seperti apakah tanda-tanda mendekati akhir zamana. Pertama, banyak terjadi musibah seperti bencana alam dimana-mana dalam waktu yang bersamaan atau berdekatan. Kedua, sudah tidak ada lagi kepatuhan dan kepatutan dalam hubungan orang tua dan anak. Yayan merincinya dengan mencontohkan seringnya terjadi perbuatan keji terhadap orang tua demikian juga sebaliknya yang dilakukan orang tua terhadap anaknya. �Seperti anak yang membunuh orang tuanya ataupun orang tua yang bersetubuh dengan anaknya,� uacap Yayan.

Yang Ketiga, keleluasaan melanggar aturan yang dibuat terutama yang sudah digariskan oleh Tuhan Yang Masa Esa. Dalam hal ini, kata Yayan, yang benar sering dikatakan salah, tapi yang salah dianggap benar. Keempat, pergaulan lain jenis yang bisa disamakan dengan pergaulan ala binatang. �Wanita kerap memurahkan auratnya dan sepertinya sudah hilang rasa malunya,� ujar Yayan.

Tanda Kelima, orang tua akan sangat kesulitan mendidik anaknya karena terbawa arus zaman. Dan yang terakhir, sering ditemukan anak yang lahir tanpa ayah atau perkara anak yang dibuang. �Tanda-tanda ini selalu disampaikan dalam �ngaguar uga� setiap muludan sebagai bentuk peringatan agar manusia berhati-hati dalam bertingkah laku,� kata Yayan.

Pengingatan tentang akhir zaman juga disampaikan dalam relief-relief yang terukir di Candi Borobudur. Di kaki candi, terdapat 160 pigura relief yang dinamakan Karmawibhangga. Secara keseluruhan relief ini merupakan gambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir-hidup-mati (samsara) yang tidak pernah berakhir.

Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batu yang terselubung itu menggambarkan hukum karma. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab-akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang diperolehnya, tetapi juga tentang perbuatan baik manusia dan pahalanya.

Menururt antropolog lulusan Unpad, Fuad Abdulgani, munculnya ramalan-ramalan tentang akhir zaman sekarang ini merupakan hal yang wajar. Itu adalah bentuk kesadaran kolektif masyarakat terhadap kondisi riill yang dihadapinya saat ini. �Sekalipun itu diprediksi oleh individu tertentu malah menjadi pandangan yang kontekstual, � kata Fuad.

Dalam masyarakat yang mengenal peradaban, ramalan tentang akhir zaman terus mengemuka. Fuad mencontohkan munculnya ramalan �zaman edan� (kaliyuga) pada masyarakat Jawa yang disebut oleh Ronggo Warsito. Hal ini mengemuka sepanjang abad 19 dalam situasi ketika keraton ditundukan oleh penjajah yang menyengsarakan rakyat.

Namun, kondisi itu malah memunculkan harapan baru yang menunggu munculnya �ratu adil�, yang bisa memberikan tatanan baru yang lebih baik. Jadi sebenarnya, akhir zaman itu bisa diartikan mengakhiri masa kelam untuk membuka tatanan kehidupan baru yang lebih baik,� ujar Fuad.

Sumber: Dewiyatini/Pikiran Rakyat

Related Posts:

amazon