RETNO HY/PR |
PERMUKIMAN Kampung adat Dukuh, Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut. Masyarakat setempat mengenal kiamat seperti mengingatkan untuk selalu memegang teguh warisan dari leluhurnya.* |
Mengupas ramalan kiamat bukanlah hal yang baru dikalangan masyarakat adat. Kiamat seakan mengingatkan mereka untuk terus berlaku sesuai ajaran adat dan keyakinannya. Seperti yang dilakukan masyarakat adat di Kampung Dukuh, Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, yang memegang teguh warisan dari leluhurnya.
Juru bicara masyarakat Kampung Dukuh Yayan Hermawan, menyebutkan ada sebuah upacara di masyarakat adat Kampung Dukuh terkait kiamat. Namun, dalam upacara itu tidak disebutkan waktu kiamat itu datang. Tidak seperti ramalan suku maya yang menyebut dengan pasti waktu kiamat itu. Upacara yang disebut ngaguar uga (mengupas ramalan) membahas pertanda mendekati akhir zaman. �Hal itu sebagai pangeling bagi masyarakat agar berlaku sesuai tata yang sudah dibuat,� kata Yayan.
Dalam ngaguar uga, dipaparkan seperti apakah tanda-tanda mendekati akhir zamana. Pertama, banyak terjadi musibah seperti bencana alam dimana-mana dalam waktu yang bersamaan atau berdekatan. Kedua, sudah tidak ada lagi kepatuhan dan kepatutan dalam hubungan orang tua dan anak. Yayan merincinya dengan mencontohkan seringnya terjadi perbuatan keji terhadap orang tua demikian juga sebaliknya yang dilakukan orang tua terhadap anaknya. �Seperti anak yang membunuh orang tuanya ataupun orang tua yang bersetubuh dengan anaknya,� uacap Yayan.
Yang Ketiga, keleluasaan melanggar aturan yang dibuat terutama yang sudah digariskan oleh Tuhan Yang Masa Esa. Dalam hal ini, kata Yayan, yang benar sering dikatakan salah, tapi yang salah dianggap benar. Keempat, pergaulan lain jenis yang bisa disamakan dengan pergaulan ala binatang. �Wanita kerap memurahkan auratnya dan sepertinya sudah hilang rasa malunya,� ujar Yayan.
Tanda Kelima, orang tua akan sangat kesulitan mendidik anaknya karena terbawa arus zaman. Dan yang terakhir, sering ditemukan anak yang lahir tanpa ayah atau perkara anak yang dibuang. �Tanda-tanda ini selalu disampaikan dalam �ngaguar uga� setiap muludan sebagai bentuk peringatan agar manusia berhati-hati dalam bertingkah laku,� kata Yayan.
Pengingatan tentang akhir zaman juga disampaikan dalam relief-relief yang terukir di Candi Borobudur. Di kaki candi, terdapat 160 pigura relief yang dinamakan Karmawibhangga. Secara keseluruhan relief ini merupakan gambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir-hidup-mati (samsara) yang tidak pernah berakhir.
Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batu yang terselubung itu menggambarkan hukum karma. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab-akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang diperolehnya, tetapi juga tentang perbuatan baik manusia dan pahalanya.
Menururt antropolog lulusan Unpad, Fuad Abdulgani, munculnya ramalan-ramalan tentang akhir zaman sekarang ini merupakan hal yang wajar. Itu adalah bentuk kesadaran kolektif masyarakat terhadap kondisi riill yang dihadapinya saat ini. �Sekalipun itu diprediksi oleh individu tertentu malah menjadi pandangan yang kontekstual, � kata Fuad.
Dalam masyarakat yang mengenal peradaban, ramalan tentang akhir zaman terus mengemuka. Fuad mencontohkan munculnya ramalan �zaman edan� (kaliyuga) pada masyarakat Jawa yang disebut oleh Ronggo Warsito. Hal ini mengemuka sepanjang abad 19 dalam situasi ketika keraton ditundukan oleh penjajah yang menyengsarakan rakyat.
Namun, kondisi itu malah memunculkan harapan baru yang menunggu munculnya �ratu adil�, yang bisa memberikan tatanan baru yang lebih baik. Jadi sebenarnya, akhir zaman itu bisa diartikan mengakhiri masa kelam untuk membuka tatanan kehidupan baru yang lebih baik,� ujar Fuad.
Sumber: Dewiyatini/Pikiran Rakyat
0 Response to "Akhir Zaman dari Kaca Mata Budaya"
Posting Komentar