Gunawan Budi Susanto
Malam tadi, selepas isya, Kluprut bertandang ke rumah saya. Belum lama duduk, dia minta izin ke kamar mandi. Tak lama kemudian, dia kembali ke teras. Kami duduk berhadapan.
“Kau aneh, Kang!” ujar Kluprut, setelah menyulut dan mengisap kretek.
“Kenapa?” sahut saya.
“Kamar mandimu luas, seluas kamarku. Namun, aneh, bak airnya kecil dan kosong! Cuma ada satu ember berisi sedikit air. Padahal, air tak pernah berhenti mengalir dari sumurmu kan?”
“Apa yang aneh?”
“Ya, anehlah! Kamar mandi luas, bak air kecil dan selalu kosong. Malah cuma ada satu ember tak berisi penuh. Lalu, buat apa bikin kamar mandi macam itu? Bak mandi tak terisi, cuma ada ember kecil! Pemandangan tak elok!”
Saya tersenyum getir. Keki.
“Sejak dulu aku punya impian, jika bisa membangun rumah bakal bikin kamar mandi luas dengan bak lebar dan panjang. Alhamdulillah, terkabul. Aku punya rumah. Tidak megah dan mewah memang, tetapi sungguh nyaman kami tinggali. Dan, terkabul pula impianku: punya kamar mandi luas,” ujar saya.
“Kenapa harus luas?”
“Aku senang berlama-lama di kamar mandi. Aku senang berlama-lama beol sambil merangkai cerita, yang kemudian bisa kutulis. Entah jadi cerpen, puisi, esai, atau apa saja.”
“Ya, tapi kenapa harus luas?”
“Kamar mandi luas membuat aku betah berlama-lama. Kamar mandi luas membuat aku merasa lapang. Tidak sumpek, pengap. Apalagi aku merokok saat beol. Jadi sekeluar dari kamar mandi, asap rokok tak mengganggu anak atau istriku yang bergiliran ke kamar mandi. Ada lubang ventilasi cukup lebar. Asap bisa segera keluar.”
“Cuma itu?”
“Tidak.”
“Apa?”
“Dulu, sewaktu bocah, aku acap berenang di bak kamar mandi keluargaku di Blora. Nah, aku senang jika suatu saat, sebelum bisa mengajak anak-anakku, Kinan dan Titis, berenang di kolam renang, biarlah mereka berenang di bak kamar mandi. Ha-ha-ha!”
“Itulah yang kemudian terjadi?”
“Ya.”
“Namun kenapa sekarang bak itu jadi kecil sekali? Lebih kecil dari kebanyakan bak di kamar mandi perumahan?”
“Ha-ha-ha! Itu ikhtiar jenial istriku.”
“Jenial?”
“Iya. Semula bak itu selebar 125 sentimeter, panjang 200 sentimeter, dan kedalaman 90 sentimeter. Kinan dan Titis, yang saat itu masih kecil, leluasa berkecipak, slulup, dan berenang di bak itu. Ketika memergoki aku membiarkan saja Kinan dan Titis berenang di bak kamar mandi, istriku marah. ‘Boros!’ ujar dia. Lalu dia meminta Kinan dan Titis mentas, dan membebankan pengurasan bak mandi kepadaku.”
“Terus?”
“Ya, aku harus menguras dan membersihkan bak itu sampai bersih-sih! Lalu kuisi kembali sampai mewer-mewer. Aku senang melihat air di bak kamar mandi kimplah-kimplah.”
“Lalu?”
“Ita, istriku, tetap marah-marah. Apalagi ketika Nenek – sapaan anak-anak bagi ibu mertuaku – mandi. Jebar-jebur, asyik. Aku suka, karena di Blora kami nyaris selalu kekurangan air, nyaris selalu kesulitan mandi, pada musim kemarau. Bagiku, menyenangkan bisa membuat Nenek mandi dengan riang. Ha-ha-ha!”
“Terus?”
“Ita berseru, ‘Nek, nek siram aja boros-boros. Ingat saat kesulitan air. Hemat air ngapa!’ Waduh, aku keki. Masa hidup sekali saja, keriangan saat mandi bisa jebar-jebur mesti dicegah? Nah, sepulang Nenek ke Blora, istriku memanggil tukang. Dia minta bak kamar mandi diperkecil sekaligus kedalamannya dikurangi. Aku mengalah. Ketika perbaikan selesai, kuisi bak sepenuh-penuhnya. Lagi-lagi istriku marah. ‘Boros! Isi secukupnya saja, seperlunya. Ingat saat kesulitan air. Air mahal!’ Lagi-lagi aku mengalah.”
“Terus?”
“Ya, begitulah, akhirnya malah bak itu selalu kosong. Dia memasang selang ke keran air di atas bak dan menampung air di sebuah ember. Hanya saat mandi, ember diisi penuh. Berlakulah ketentuan: siapa pun yang mandi hanya boleh menghabiskan air satu ember itu. ‘Hemat air!’ kata Ita.”
“Memang pemandangan tak elok. Kamar mandi luas, bak kecil selalu kosong. Malah pakai ember berisi air. Namun tak apa karena ternyata itu upaya penghematan air. Bagus! Aku salut pada istrimu, Kang!”
“Ya, hemat sih hemat, tapi….”
“Tapi apa?”
“Sikap hemat air itu tak cuma berlaku di rumah, tetapi juga berlaku bagi tetangga. Repot juga.”
“Kenapa repot?”
“Ya, tak enak hatilah aku. Masa ketika tetangga bersikap boros air, dia juga marah dan mewujudkan kemarahan tanpa segan, tanpa sungkan.”
“Lo, bagus itu!”
“Bagus gundulmu! Aku malu, aku ewuh.”
“Kenapa malu? Kenapa ewuh?”
“Gimana nggak malu dan ewuh? Dia bisa marah-marah pada tetangga yang memboroskan air.”
“Contohnya?”
“Tetanggaku acap lalai, tak segera mematikan keran ketika tandon telah penuh terisi air yang mengalir dari sumur kolektif di kampung. Air meluber, ngocor tak henti-henti, terbuang percuma. Itu acap terjadi berjam-jam. Jika aku tahu, diam-diam kumatikan keran di tepian jalan itu. Namun istriku justru marah. ‘Biarkan. Jika itu sampean lakukan setiap kali, ya dia tak pernah mau mengerti. Lalu mbubohke, menggantungkan diri pada orang lain untuk mematikan keran air itu.’ Tak cukup sampai di situ. Dia sering mengirim SMS kepada tetanggaku itu. ‘Jangan lantaran merasa punya uang, lalu membuang-buang air seenak hati! Ingat, banyak orang butuh air dan tidak setiap saat bisa memperoleh dengan gampang. Matikan keran airmu.’ Seperti itulah pesan singkat yang dia kirim. Memang manjur. Tetanggaku segera keluar rumah, mematikan keran air itu. Namun, kembali, lain kali peristiwa serupa terulang. Lagi-lagi, istriku marah dan kembali mengirim SMS serupa. Ya, aku malu. Kok jadi mengurusi rumah tangga orang lain.”
“Lo, tindakan tetanggamu itu memang pantas memancing kemarahan! Sikap istrimu benar. Dia patut marah dan sepantasnya marah. Bagus itu, tindakan yang bagus!”
Saya terdiam. Kluprut memang keranjingan. Seenak hati saja mengubah pandangan. Mula-mula mengecam, kemudian memuji. Sialan!
Namun, diam-diam, akhirnya saya menyetujui sikap Ita, istri saya. Sejak dulu sampai sekarang, di Blora Kota, setiap kali musim kemarau tiba, air sulit kami peroleh. Sumur-sumur mengering. Orang-orang yang punya duit, enak saja, tinggal membeli. Keluarga dia, menurut penuturan Ita, dulu mesti bersusah-payah memenuhi kebutuhan akan air. Ngangsu berkilometer-kilometer dari rumah, dengan peralatan seadanya, menjadi beban tambahan yang tak ringan.
Karena itulah, dia merasa wajar menghargai air sebegitu rupa. Hemat memakai air dan menghargai air sebagaimana adanya – sebagai karunia Tuhan – mesti diunjukkan secara terus-menerus. Maka, pilihan sikap untuk menghemat air justru ketika berkelimpahan merupakan keharusan. Namun, masa perlu sih marah-marah pada setiap orang, termasuk tetangga, yang bersikap berbeda? Itulah yang belum mampu saya lakukan. Dan, Ita, oh dia berani marah, berani pula menangggung akibat dari kemarahan itu.
“Apa?”
“Tidak disukai, bahkan mungkin dibenci tetangga.”
“Bagus itu!” sahut Kluprut.
“Bagus gundulmu!” ujar saya keki.
“Ya, baguslah. Berani bersikap, berani menanggung akibat. Ksatria. Kamu saja yang pengecut!”
0 Response to "Kamar Mandi Luas, Bak Selalu Kosong"
Posting Komentar