Estetika Ramadan

Ada yang aneh dan agak tak masuk akal, bagi saya, pada sebagian situasi Ramadan di Yogyakarta.

Pada siang hari atau paruh malam, saya bisa  berkeliling kita menghirup wangi budaya Ramadan di seantero Yogya. Tetapi selewat tengah malam hingga subuh tentulah saya berada di tempat tinggal saya. Dan aroma Ramadan yang bisa saya capai tentulah sejauh lingkungan di kampung saya, atau paling banter suara-suara dari pengeras sejumlah masjid yang radiusnya mencampai rumah kontrakan saya.

Yang khas dari Ramadan, pertama-tama, adalah bunyi sirine, satu nada seruling melengking yang menandai Maghrib tiba. Tanpa melihat  siaran teve, mendengarkan tanda dari radio atau jam, kita langsung tahu waktu berbuka telah tiba karena suara sirine yang memenuhi kota.

Kalau di dusun saya dulu, yakni di wilayah timur Jambangan, kami berbuka puasa begitu suara beduk berbunyi. Menjelang saya pergi merantau, beduk sudah “dipersonanongratakan” karena ----menurut sejumlah mubaligh Muhammaddiyah----dianggap bidah. Yakni, unsur-unsur dalam atau sekitar peribadahan resmi yang sebenarnya tidak diajarkan oelh Rasulullah Muhammad.

Beduk, gendang besar, dengan pola-pola aransemen musikalnya yang bermacam-macam, dari yang baku sampai berjenis-jenis “beduk” sesuai dengan momentum dan konteksnya----adalah bagian dari kenikmatan budaya keislaman kami. Tetapi karena katanya itu bidah, ya kami harus tak keberatan untuk membuangnya serta menggantikannya dengan pengeras suara dan kaset yang katanya tidak termasuk bidah.

Sesudah Ashar, sehari sebelum hari Ramdan tiba, biasanya kami berkerumun di sekitar surau, karena pemuda dengan penuh gairah medemonstrasikan aransemen tedur menandai masuknya Bulan Suci. Biasanya, kami menonton tedur sambil tak bisa menahan sunggingan senyum aneh---semacam kenikmatan estetis yang tak ada duanya. Mungkin itu memancarkan rasa bahagia karena selama Ramadan setan,iblis, dajjal, diborgol oleh para malaikat. Mungkin juga kami anak-anak kecil merasa terancam karena mulai besok tak makan-minum sepanjang hari.

Akan tetapi, ternyata beduk itu katanya bidah.  Kami merasa kehilangan, meskipun tetap rela demi pemurnian Islam. Bahkan, kami juga tak bisa berlagu-lagu pujian menjelang sembahyang. Juga tidak lagi melakukan wirid kolektif, tetapi sendiri-sendiri, sehingga akhirnya hanya amat sedikit yang melakukan wirid. Tetapi, tak apa. Demi pemurnian Islam. Kita harus menjalankan sesuatu yang sungguh-sungguh diajarkan oleh Nabi.
****
Ketika kemudian saya merantau ke Yogya, pusatnya Muhammadiyah, organisasi modern yang memurnikan umat Islam dari bidah-bidah, saya mencoba mencari pengganti estetika yang hilang itu, sebab saya yakin Muhammadiyah lebih memiliki kualitas dan keterampilan modern untuk menggarap seni budaya Islam.

Soalnya estetika atau rasa keindahan adalah salah satu anugerah Allah yang luar biasa harus disyukuri. Caranya ialah dengan menumbuhkan, mengkreatifkan, dan mewujudkannya dalam kehidupan beragama yang konkret. Bayangkan, kalau kita salat dengan imam yangsama sekali tidak enak didengar ucapan-ucapannya. Bayangkan, kalau azan disampaikan lewat pengeras suara yang memecah kota, tetapi tanpa penggarapan estetika yang memadai. Syukur apabila eksplorasi estetika kaum Muslim tak terbatas pada penerapannya dalam ritus-ritus, tetapi juga dalam peta kebudayaan yang lebih luas. Syukur bisa ikut bersaing dalam perniagaan kaset, siaran teve, teater, dan lain-lain.
Akan tetapi, inilah yang di awal tulisan ini saya sebut sesuatu yang aneh dan agak kurang masukn akal. Khazanah estetika anugerah Allah ini hampir di semua strata : saya mengalami Yogya amat kering di bidang ini.
***
Sejauh azan dan ucapan lain dari pengeras suara masjid yang tiba ke rumah kontrakan saya, boleh dikatakan tak ada yang indah. Jangankan indah, enak pun kurang. “Terminoloogi nadanya” tak jelas apa Arab apa Jawa. Ya azannya, ya ucapan-ucapan lainnya.

Beberapa tahun lalu masjid besar alun-alun Yogyapunya muazin yang lumayan dan untuk waktu yang lama menjadi favorit saya. Tetapi, dia telah almarhum dan tak ada penggantinya. Muazin yang generasi baru hanya meniru wadak lagu-lagunya, tetapi tanpa kualitas yang bisa dibandingkan dengan pendahulunya.

Kalau saya mendengar azan di fajar hari, hati saya berdoa! “Ya Allah, doa hamba hanya sederhana. Dengan tingkat estetika azan seperti ini, hamba tidak berani beranggapan bahwa aka nada orang yang tertarik kepada agama-Mu. Yang hamba mohonkan hanyalah jangan sampai ada orang yang menjadi tak kerasan dalam Islam gara-gara mendengar azan yang demikian.”

Azan termasuk ujung tombak dakwah. Ia sebaiknya digarap sedemikian rupa sehingga mengetuk hati pendengarnya. Kalau tidak, ia terpeleset untuk menjadi gangguan bagi pendengarnya.
Panggilan sahur pun diungkapkan secara mentah: “Sahur! Sahur!” Dulu ada yang namanya tarhiman, yakni ucapan-ucapan musical menjelang imsak. Tetapi, katanya bidah.

Lantas diganti dengan ucapan “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibul ‘afwa fa’fu ‘anni”. Cara mengucapkannya seperti anak TK melafalkan butir-butir Pancasila. “Wahai Tuhanku, Engkau Maha Pengampun. Engkau menyukai pengampunan. Maka, ampunilah hamba.”

Rasanya lucu dan aneh. Seseorang minta ampun Allah untuk dirinya sendiri, tetapi dia ucapkan keras-keras memenuhi kampong. Sendainya dia ganti fa’fu ‘anna’----ampunilah kami semua---mungkin lebih etis dan masuk akal.

Kami itu sendiri agak memfetakompli Tuhan. “Engkau Maha Pengampu dan menyukai pengampunan lho, Tuhan ayo, ampuni aku….”

Saya menjadi agak bingung. Soalnya Muhammadiyah itu organisasi tajdid alias pembaru. Organisasi modern, alias tidak tradisional dan tidak konservatif. Kok, budaya agam di kota pusatnya tak tergarap? Mungkin terlalu sibuk memperhatikan masalah-masalah besar seperti pembangunan nasional, persiapan menjelang abad ke-21, sistem perekonomian Islam, dan seterusnya.
Soal bidah saya setuju-setuju saja. Cuma kalau tarhiman yang indah dibilang bidah dan mengganggu kekhusyukan berislam, tolong raungan-raungan motor knalpot terbuka pada dini hari suka menggergaji telinga dan perasaaan, difatwai juga hukumnya apa. Dari Muhammadiyah-lah saya mengetahui bahwa Allah itu indah dan menyukai keindahan.



Cak Nun, “Surat kepada Kanjeng Nabi”




Related Posts:

    0 Response to "Estetika Ramadan"

    Posting Komentar

    amazon