Tak banyak hal yang lebih menyejukkan hati dibanding---misalnya---beristrikan seorang wanita berjilbab. Ada beberapa unsur pokok dari "kekisruhan psikologis kaum lelaki" yang rasanya bisa diamankan oleh sepotong kain yang menelungkupi kepala wanita. Pada zaman modern, keabsahan untuk liberal biasanya dipersembahkan hanya bagi ego lelaki : sementara di "kampung" sosialitas lelaki biasanya malah superkonservatif. Lelaki merasa sedemikian ngeri untuk tak disetiai, justru karena dia menikmati peluang yang sedemikian luasnya dalam sistem budaya untuk tidak setia.
Urutan syarat istri ideal mungkin adalah berpendidikan, rasional, mandiri, cukup cerdas, berkepribadian, setia, dan cantik. Tetapi yang terakhir ditaruh urutan pertama, demikian seterusnya. Adapun soal berpendidikan atau tidak, oleh lelaki tertentu, boleh ditaruh di urutan terakhir: sebab baginya wanita sebaiknya disimpan, di-imbu, diperam sebagaimana mangga dalam gentong. Maka, wanita cantik berjilbab itu ibarat susu indah bergizi. Kalau berjilbab saja tanpa cantik, nanti ada kawan yang usil bilang, "itu orang merusak jolbab sebelanga". Kecuali, jika kita adalah seorang ideolog yang progresif-revolusioner, yang melihat jilbab sebagai ornamen revivalisme Islam, di sisi jilbab-jilbab lain yang berupa iman agama, pilihan ilmu sosial, kerangka ideologi, atau militansi politik.
Akan tetapi, tema kita ini bukan bagaimana lelaki memilih istri ideal, melainkan upaya mencari arti dan letak "lelaki" dan "wanita" dalam titik tolak setiap rekayasa kebudayaan. Ruh itu netral, tak lelaki tak wanita. Ruh punya sub-subdimensi, sebagian lain sebagai "tonjolan lelaki". Mereka itu menifestasi, tetapi sumber manifestasi itu sendiri "satu dan sama".
Maka, setiap pertarungan antara wanita dan lelaki---di rumah tangga, di sistem sosial, di manajemen perusahaan, di bumi dan di surga--- adalah suatu pertarungan untuk menjadi satu kembali. Kalau wanita menyublimasi diri ke sumber, maka dia temukan dirinya sebagai "juga lelaki", atau suatu keutuhan yang tak lagi wanita atau lelaki. Juga bagi lelaki. Kejantanan, umpamanya, memang diwakili oleh "manifestasi" lelaki, tetapi tak bisa disebut harkat lelaki, seperti juga kebetinaan bukanlah harkat wanita. Pun keberanian dan kepengecutan, kemanjaan dan keperkasaan, sesumbar dan tangis, tak bisa dimonopoli oleh salah satu darinya.
Jadinya, kalau emansipasi lelaki atau emansipasi wanita mengacu hanya pada bentukan "lelaki" dan "wanita", maka itu bernama primordialisme. Rujukan universallah yang memungkinkan perjuangan itu taj terjebak oleh emosi yang pergulatan semu, oleh primordialisme-lelaki, dan primordialisme-wanita. Wanita bukan "sepenuhnya wanita" dan mereka bukan dua gumpa stereotip yang berlawanan. Wanita bisa----dalam fungsi sosial--- merupakan "lelaki" yang jantan perkasa, lelaki merupakan ibu anggun lembut pengayom. Atau, wanita bisa berupa jagoan atau gacoan yang garang, dan lelaki berupa babon pemalas dan kolokan.
Karena lelaki-wanita ini satu ruh, tetapi beda manifestasi, maka sepak terjang mereka dilandaskan pada satu ruh, tetapi dikelola menurut perbedaan manifestasi. Kalau proporsi ini "dilanggar", wanita mengucapkan kejantanannya dengan binaraga dan lelaki melampiaskan kelembutan dengan artikulasi banci. Dengan memakai tanda budaya lelaki, wanita merasa merebut perlambang yang semula dimonopoli wanita. Kalau buruh wanita dipekerjakan sampai larut malam, maka hal itu seperti itu disebut eksploitasi, sementara kalau jam kerjanya lebih sedikit dari lelaki disebut diskriminasi.
Dalam mis-manajemen begituan, letak jilbab menjadi kurang begitu jelas. Jilbab sering diklaim sebagai contoh berapa lelaki Islam merendahkan seorang wanita. Sementara sebagian pemakai jilbab menyatakan jilbab adalah cara wanita melindungi harkatnya dari otoritas kultural kaum lelaki. Dengan memakai jilbab, Hajjah Vonny merasa bisa ambil jarak budaya dan politis dari kerakusan pria. Dia melindungi ke-"wanitaan"-nya; sebuah "nasionalisme oposan wanita" di hadapan "rezim lelaki".
Di banyak tempat, penari-penari menghentikan keseniannya sejak pakai jilbab. "Kenapa tak bikin tari jilbab?" "O, tidak. Wanita itu aurat. Kami menolak show di hadapan lelaki." What do you mean by show. Sweet heart? Tampil di panggung seni? Berdiri di depan papan tulis ruang kuliah? Jalan-jalan di depan Asrama Cowok? Kapan saja engkau tampil di depan lelaki, maka itu selalu adalah pertunjukan bagi setiap hidung belang atau jerawatan. Jadi, simpanlah dirimu di gudang atau atap rumah.
Dengan yang dia sangka konsep aurat, dia mengukuhkan primodialisme wanitanya. Dia seolah meneguhkan diri sebagai tubuh dan keindahan yang wajib dia lindungi. Padahal, kalau kewanitaan adalah itu, biar disembunyikan di balik kain tipis sepuluh dan di penjara tembok kimiawi Roma, lelaki tetap bisa memfantasikannya. 'Kalau gua fantasi elu, mau lari kemana!"
Kalau eksistensi wanita, percayalah apa yang di balik kerudung dan jilbab jauh lebih indah---bagi "rontgen lelaki"---dibanding gambar polos Bo Derek.
Jadi, mari bicara sederhana tentang memperkaya dimensi pergaulan antara wanita dan lelaki. Kalau Dono ngobrol sama Dini, maka yang dihadapinya dia tidak hanya Dini sebagai wanita, tetapi juga Dini sebagai sebuah pribadi, sebagai----mungkin---pemikir, sebagai penghobi rujak cingur dan Gombloh, sebagai pengagum Asmuni, atau berpuluh sebagai lainnya, yang semua itu tak seksi, tak berkonteks wanita atau lelaki.
Namun, umumnya lelaki memang bangsat. Tradisi dan naluri budayanya terampil sekali untuk cepat-cepat melihat wanita sebagai terutama faktor seksual. Gerakan Emansipasi Wanita jadi tersipu-sipu dan serba salah. Padahal, kemanusiaan begitu luas.
-Cak nun, dalam buku berjudul Surat kepada Kanjeng Nabi-
0 Response to "Aurat"
Posting Komentar